INDONESIA yang masuk status darurat kekerasan anak serta anak-anak yang menirukan adegan dalam sinetron ke dalam keseharian mereka menjadi dua hal yang banyak diperbincangkan. Berdasarkan data statistika Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis dalam 5 tahun terakhir ada 21.689.987 aduan pelanggaran hak anak yang tersebar di 33 Provinsi. Dari Angka itu, 58 persen diantaranya adalah kejahatan seksual, lalu sebanyak 90 persen pelaku kekerasan dan pelecehan seksual pada anak adalah orang dekat atau minimal kenal dengan korban atau keluarga.
Tidak kalah membahayakan, yaitu kasus anak yang menirukan adegan dalam sinetron. Contoh kasus yang terjadi di Pekanbaru, seorang anak kelas 1 SD meninggal dikeroyok temnan-temannya. Menurut keterangan orangtuanya, korban dan teman-temannya sedang bermain menirukan adegan perkelahian dalam sinetron yang mereka tonton. Akibat kejadian ini, korban mengalami kerusakan syaraf dan meninggal setelah sempat dirawat di rumah sakit.
Pakar komunikasi Undip Triyono Lukmantoro mengatakan, aksi kekerasan yang ditayangkan di televisi sebaiknya jangan dipertontonkan secara eksesif. "Media televisi memiliki kekuatan visualisasi luar biasa yang bisa mempengaruhi penonton untuk meniru apa yang ditayangkan. Apalagi, jika penontonnya adalah kalangan anak-anak," katanya.
Banyak dari kita menyalahkan oranglain untuk bertanggungjawab atas dua kasus ini. Menyalahkan para pelaku, adapula yang menyalahkan KPI. Tidakah kita menyadari bahwa semakin meningkatkanya anak yang menirukan adegan dari telivisi yang mereka tonton maupun anggota keluarga kita yang menjadi korban kejahatan para predator seksual itu sedikit banyak adalah karena kelalaian kita sendiri. Kelalaian kita sendirilah yang membuat dua kasus ini semakin berkembang seolah beranak pinak dan makin menjadi. Tanpa kita sadari kita memberikan kesempatan kepada anggota keluarga kita untuk menjadi seorang predator dan menjadi korban dari predator.
Orangtua di masa kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget mereka, sibuk memperhatikan timeline daripada memperhatikan anak. Dengan demikian orangtualah yang membuat jurang pemisah antara orangtua dan anak.
 Akibat dari ketidak perrhatian kita ini mampu mencetak predator baru dan korban dari predator. Mengapa demikian, anak seharusnya diberikan perhatian khusus terkait tayangan telivisi apa yang layak mereka tonton. Bukan malah menonton sinetron dewasa bersamaan dengan anak. Karena anak menirukan apa yang mereka lihat dan dengarkan. Dengan kebebasan yang kita berikan dan tidak adanya perhatian serta pendampingan dalam anak menonton telivisi, itu sama saja kita membuka kesempatan bagi anak menjadi 'predator' bagi sesamanya. Anak bisa saja menirukan adegan perkelahian, bahkan pembunuhan yang mereka tonton lalu mempraktikan adegan tersebut kepada sesamanya.
Sedangkan untuk kasus kekerasan anak khususnya pelecehan seksual menurut dr Boyke Dian Nugraha SpOG, pendidikan seks mencegah perilaku seks bebas, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, hingga pemerkosaan. "Anak-anak kita tidak mendapat pendidikan seksual sejak dini. Sementara orang yang mengincar anak ada di sekelilingnya. Ketika terjadi pelecehan seksual, anak yang tidak tahu menganggap hal itu bukan masalah," kata Boyke.
Memang masih banyak orangtua yang kurang terbuka dan tak terlatih membahas seksualitas dengan anak-anaknya. Apalagi jika mengingat ada banyak predator yang mungkin mengincar anak kita. Pelakunya bahkan bisa jadi orang dekat anak. Karenanya, penting menanamkan keterbukaan dan komunikasi yang baik dengan anak. Jika kita sebagai anggota keluarga yang lebih dewasa tidak memberikan pendidikan seksual pada anak sejak dini maka kitalah yang membuka jalan mulus bagi para predator seksual untuk melancarkan aksinya.
Peran Keluarga