Krjogja.com - LIVING QUR’AN terdiri dari dua suku kata yang berbeda, Living diartikan dengan hidup dan Qur‟an adalah wahyu terakhir tertulis dalam mushaf. Sederhananya, Living Qur’an dapat diartikan sebagai teks ayat-ayat Al-Qur’an yang hidup di masyarakat. Begitu banyak definisi yang menentukan arah kajian Living Qur’an. Teks Al-Qur‟an yang hidup dalam masyarakat itulah yang disebut Living Qur’an sedangkan manifestasi teks yang berupa pemaknaan Al Qur’an disebut dengan Living Tafsir.
Ayat Kaligrafi di Masjid Al-Ishlah dan Sejarahnya
Kaligrafi modern yang terkenal dan tersebar cukup luas, yakni terdapat delapan bentuk tulisan kaligrafi yang diantaranya: Pertama, naskhi yang cenderung berbentuk geometris. Kedua, tsuluts yang bersifat monumental. Ketiga, farisi yang hurufnya ditulis agak condong ke kanan. Keempat, diwani yang biasa ditulis untuk surat-surat resmi Kerajaan Usmani.
Kelima, diwani jali yang lebih dominan dalam dekorasi, bukan ejaanya. Keenam, kufi yang biasa digunakan untuk hiasan gedung pemerintah Abbasiyah. Ketujuh, riq'ah yang dominan kearah stenografi, dan Kedelapam, rayhani yang dominan dilengkapi hiasan yang bervariasi.
Masjid Al-Ishlah yang terletatak di Jalan Kebon Agung, Jodag RT 04, Kelurahan Sumberadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, dihiasi dengan corak dan bentuk hiasan kaligrafi Al-Qur'an dengan perpaduan warna hijau dan ditambah lagi dengan goresan putih kaligrafi QS. Al-Baqarah: 255. Ayat kursi ini diturunkan Allah SWT pada suatu malam ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah Munawaroh.
Penulisaan ayat kursi ini diantarkan oleh para malaikat, mengapa diiantarkan oleh malaikat? Karena ayat kursi ini adalah satu ayat yang sangat mulia di dalam kitab suci Al-Qur’an, oleh karena itu para malaikat pun mengiringnya atas perintah Allah SWT.
"Barang siapa yang membaca ayat kursi sehabis setiap shalat fardhu maka tiada penghalang untuk memasuki surga kecuali hanya mati." (HR. Tharbani)
Sejarah pendirian masjid Al-Ishlah sendiri didirikan sejak tahun 1915 dengan tanah milik Kyai Muhammad Isya. Kyai Muhammad Isya berasal dari Mlangi dan mempunyai dua istri yaitu, Umi Muhammad Isya dan Umi Mardinah. Pernikahannya dengan Umi Isya tidak memiliki keturunan sedangkan dengan Umi Mardinah memiliki 4 keturunan yaitu, Jalal Muhadi, Mustaqim, Samsudin, dan Siti Aisyah.
Kyai Muhammad Isya adalah sosok tentara yang dikirimkan ke Aceh untuk mempertahankan kasultanan Aceh atau perang Aceh. Pada tahun 1915 Muhammad Isya kembali ke Yogyakarta dan mendirikan Masjid Al-Ishlah dikarenakan rasa syukur selamat mengikuti perang Aceh. Sebelum diresmikan Masjid Al-Ishlah ini adalah langgar kecil yang terbuat dari bambu, kemudian mengalami beberapa tahap renovasi pada tahun 1950, 1972, 1982, dan terakhir renovasi pada tahun 2000. Dan Masjid Al-Ishlah diteruskan kapada cucunya Assoc. Prof. Sunarno, S.H, M.Hum, PhD tahun 1996 hingga saat ini. Prof Sunarno merupakan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus Ketua Takmir Masjid Al-Ishlah.
Kajian Living Qur'an dan Manfaatnya
Dari uraian kajian terkait Living Qur’an di Masjid Al-Ishlah, terdapat ayat Al Qur’an yang biasa menjadi pilihan masyarakat untuk dijadikan sebagai kaligrafi. Maka dapat terdapat benang merah bahwa pemilihan ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan kaligrafi sebagai media dakwah di Masjid Al-Ishlah dan corak yang digunakan adalah salah satu landasan guna memakmurkan masjid. Seperti firman Allah tentang memakmurkan masjid yaitu: QS. At-Taubah: 18 yang artinya
"Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apapun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk."
Adapun pemahaman tentang kaligrafi di Masjid Al-Ishlah sebagai berikut:
1. Sebagai Media Dakwah
2. Sebagai Hiasan Masjid
3. Sebagai Pelindung
4. Sebagai Pendatang Rejeki
Wallahu a’lam bi ash-shawab.