SEMARANG, KRJOGJA.com - Kurikulum ilmu hukum di perguruan tinggi (PT) di Indonesia sebaiknya diubah secara drastis agar bisa menghasilkan (meluluskan) para ahli maupun praktisi hukum yang bisa langsung terjun kerja di bidang hukum seperti menjadi tenaga legal di masyarakat.
“Sebelum tahun 2000, mahasiswa ilmu hukum hanya disuguhi teori-teori keilmuan tentang hukum tetapi boleh dikata tanpa kemahiran praktek hukum sama sekali. Setelah tahun 2000 kurikulum mulai berubah namun sampai sekarang hasilnya belum memuaskan karena porsi teori masih sangat dominan dalam pengajaran ilmu hukum,†ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr Rodiyah SPd SH MSi kepada pers di Semarang disela-sela International Conference on Clinical Legal Education : Theory and Practice, Rabu (12/04/2017).
Tampil sebagai pembicara Bruce A Lasky JD (Director of BABSEA CLE ASIA), Dr Dina Imam Supaat (Fak Sharia University of Science Islam,Malaysia), Prof Dr Abdul Mohaimin bin Noordin Ayus (Multi Media University, UNISSA, Brunei Darussalam), dan Christhoper Cason (AS).
Menurut Dr Rodiyah, meski saat ini PT Ilmu Hukum menambahkan mata kuliah KKL dan PKL namun tidak akan cukup karena PKL hanya datang, observasi dan melaporkan saja. Harusnya sampai pada klinik hukum.
Mereka menjalankan klinik hukum secara penuh dengan diikutkan sampai terjun lapangan dan sampai pada pemecahan masalah. Sehingga yang paling pas bentuknya diajarkan adalah bentuk klinik hukum. Kalau tidak, mereka akan terus terjebak pada teori saja.
“Misal mata kuliah kemahiran hukum, 30 persen teori di kelas dan 70 persen datang ke institusi terkait bidang hukum. Misal ke DPRD ikut pansus pembentukan perda sehingga tahu persis proses terjadinya sebuah perda, bagaimana terjadi interaksi antara DPRD dengan kebutuhan masyarakat. Mahasiswa akan tahu kalau suatu perda tidak berbasis kebutuhan masyarakat, misalnya interes ke partai tertentu yang dominal dan lain-lain maka mahasiswa akan tahun karena betul-betul terlibat dalam prosesnya†ujar Rodiyah.
Lebih lanjut menurutnya, PT Ilmu Hukum harus betul betul menerapkan klinik hukum dalam pengajaran ke mahasiswa. Karena dibutuhkan banyak skill, tenaga dan kompetensi dosen maka dosen pengajar klinik hukum mungkin hanya dibebani mata kuliah 4 sks tersebut setara tugas dosen lain yang kena kewajiban beban 12 SKS misalnya. Dan mahasiswa akan mendampingi kasus-kasus hukum walau scara non ligitasi (tidak beracara) karena memang bukan pengacara tetapi betul betul terlibat di dalamnya dalam proses hukum sampai ke pemecahan masalah.
“Permasalahan mendasar belum banyak perguruan tinggi menerapkan klinik hukum karena faktor terbatasnya kapasitas dosen (kompetensi), belum adanya kesiapan institusi mitra (seperti LBH, pengadilan, lawyer-lawyer dan lain-lain untuk mau melayani dan mendampingi mahasiswa (mahasiswa masih dianggap anak-anak yang sedang belajar), serta tema kurikulum nasional belum adopsi KKNI secara penuh yang menuntut profesionalisme dalam proses belajar mengajar termasuk capaian profesionalitas mahasiswa dan banyak belajar ilmu terapan atau praktek†tandas Rodiyah. (Sgi)