Kebudayaan Jadi Semangat Wong Cilik Lakukan Perlawanan

Photo Author
- Senin, 29 Januari 2024 | 09:49 WIB
Sindhunata ketika sedang memaparkan bukunya dalam bedah buku di Universitas Negeri Yogyakarta. (Felicia Echie)
Sindhunata ketika sedang memaparkan bukunya dalam bedah buku di Universitas Negeri Yogyakarta. (Felicia Echie)


KRjogja.com - SLEMAN - Setelah menggelar yang pertama di Bentara Budaya Jakarta, Sindhunata atau yang akrab disapa Romo Sindhu, menggelar bedah buku yang kedua di Yogyakarta. Bedah buku ini berlangsung di Ruang Ki Hadjar Dewantara, Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik (FISHIPOL), Universitas Negeri Yogyakarta, pada Jumat (26/01) dan diikuti kurang lebih 200 orang.

Sindhunata menempuh studi doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Jesuit (Hochschule fur Philosophie, Philosophische Fakultat), Muenchen, Jerman, pada tahun 1992. Setelah 32 tahun berlalu, ia menerjemahkan disertasinya dan menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul 'Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik' pada Januari 2024. "Nah, saya sendiri juga heran, baru 32 tahun kemudian saya terjemahkan. Ini kekuatan waktu gitu ya, jangan-jangan penantian yang dikatakan ramalan Jayabaya waktu itu mempunyai kekuatan untuk menerangkan dirinya apa yang mau dia buka. Bahwa Ratu Adil itu datang bukan sebagai person, tapi untuk menerangkan realitas demokrasi kita sekarang ini," ujar Sindhunata.

Proses penulisan disertasinya ini berangkat dari pengalamannya sebagai wartawan senior di Kompas, yang banyak bersentuhan, bergaul, dan menulis tentang orang-orang kecil. Hal ini juga didorong oleh perkataan seorang professor sekaligus sosiolog saat Sindhunata menempuh studi doktoralnya. Sindhunata ditantang untuk membuat sesuatu yang berguna untuk masyarakat dan negara. Saat itulah ia berpikir untuk menggarap tema sejarah perlawanan wong cilik dalam tradisi Ratu Adil.

Baca Juga: Awas Jebakan Judi Online, Masyarakat Harus Tingkatkan Kreativitas dan Produktivitas di Ruang Digital

Dijelaskan Sindhunata, wong cilik ini adalah orang-orang nir aksara (tanpa tulisan, tanpa dokumen). Maka prosesnya dikatakan tidak mudah. Namun melalui proses inilah, Sindhunata menemukan bahwa sejarah harus didekati dari berbagai macam disiplin.

"Karena selama ini yang ditulis tentu saja sejarah-sejarah makro, pemikiran-pemikiran besar, tetapi bagaimana menyelami pemikiran orang-orang kecil ini. Dan di sini saya bergulat dengan berbagai macam arsip-arsip sejarah. Lalu juga ternyata pendekatan sejarah tidak mungkin hanya sejarah saja, tapi dengan pendekatan sastra, dengan tradisi-tradisi kebatinan seperti ngelmu, juga sinkretisme," jelas Sindhunata. Dalam proses ini, Sindhunata menemukan begitu banyak kekayaan yang ada dalam diri wong cilik.

Menilik ke isi bukunya, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti menyampaikan tentang puisi pembuka dari buku tersebut yang berjudul 'Senandung Ratu Adil'. Puisi ini dikatakan Suminto bisa menjadi rangkuman keseluruhan disertasi Sindhunata. "Senandung Ratu Adil sudah dikatakan di bagian awal, bahwa Romo Sindhu melihat Ratu Adil dengan sudut pandang yang berbeda, ada satu sudut pandang yang menanyakan lalu yang menjawab juga. Jadi Ratu Adil merupakan sosok yang bisa bertanya dan bisa menjawab," ujar dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta ini.

Sedangkan di bagian epilog, Suminto menangkap bahwa penulisan Romo Sindhu menggunakan metode narrative inquairy. Hal ini menurut Suminto penting bagi penulisan sejarah. "Metode ini terlihat ketika beliau bercerita tentang Pak Bowo dan jagonya. Kemudian dibandingkan dengan sang kolonel sebagai seorang tokoh yang mendapat hadiah mobil. Kalau boleh saya memberi judul yang berbeda, 'Ratu Adil: Heroisme Orang Kalah'. Ini penulisan yang bagi saya merupakan penulisan budaya tanding. Selama ini sejarah selalu berorientasi pada orang-orang yang menang, yang dominan. Walaupun sesungguhnya yang dominan yang terdominasi. Diam-diam Romo Sindhu mau bilang itu dalam bukunya," kata Suminto.

Baca Juga: Hari Ini, Hujan Merata di DIY

Suminto menambahkan, bahwa di buku karya Sindhunata dijelaskan tentang marhaenisme, yang menjadi usaha Ir. Soekarno menjinakkan barat ke Indonesia. "Bung Karno menyebut wong cilik ini perlu direfleksikan sebagai suatu kekuatan revolusioner. Bung Karno sendiri mengatakan praksis marhaenisme itu bukan praksis untuk menerangkan saja, tapi praksis untuk merubah. Dan ternyata rakyat kecil itu tidak sekedar melawan tetapi berani berkorban walaupun kalah untuk menjungkirkan tatanan yang ada sebisa mereka, untuk menunjukkan bahwa harapan itu jauh lebih besar daripada darah dan kematian," terang Sindhunata.

Sindhunata juga menanggapi Suminto dengan menyetujui judul baru yang diberikan. Dijelaskan Sindhunata, wong cilik ini hanya sebagai istilah untuk menggambarkan rakyat yang miskin, menderita, berkekurangan, dibutakan dan ditindas. Namun wong cilik ini sebenarnya sangat heroik. "Itu yang saya kagumi dalam pemberontakan-pemberontakan, yang jelas bahwa mereka berhadapan dengan senjata kolonial maupun antek-anteknya yang dalam hal ini kaum feodal, birokrasi pemerintahan Belanda. Itu jelas kalah gitu lho, masa kalah tetap berani gitu, ini kan heroik. Maka jangan menyepelekan kekalahan mereka, tetapi spirit heroik mereka, perlawanan mereka, dan ini yang patut kita refleksikan, juga untuk zaman sekarang," kata Sindhunata lagi.

Sementara itu, Eka Ningtyas, S.S., M.A., menjabarkan isi buku Sindhunata dari sisi yang lain. Eka bercerita, pada awalnya yang ia temukan adalah agama yang melatarbelakangi Ratu Adil. Namun ketika meneruskan membaca, ia terkaget karna salah menangkap maksud dari buku ini. Ia menemukan bahwa wong cilik bukan dilihat dari agama, tapi dari kebudayaan. "Ini juga menjadi jawaban saya, karna ketika kita menggunakan kerangka agama sebagai pergerakan atau latar belakang wong cilik melakukan perlawanan itu tidak cocok ketika menghadapi misalnya sinkretisme, agama kristen jawa. Karna memang pintu masuknya adalah melalui kebudayaan," ujar dosen program studi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta ini.

Melalui buku ini, Eka mengapresiasi bagaimana satu pandangan kebudayaan bisa menggerakkan pola pikir dan api semangat dari wong cilik dalam melakukan perlawanan dengan caranya sendiri.

Berbeda dengan Suminto yang melihat judul buku, Eka justru berfokus pada cover buku karya Sindhunata ini. Menurut Eka, sabung ayam dan jago menjadi pilihan tema dan gambar yang luar biasa cerdas. Ia menemukan bahwa jago menjadi satu simbol yang begitu kuat bagi wong cilik dalam kancah perpolitikan. Karena wong cilik tidak punya ruang untuk berekspresi, melakukan perlawanan secara fisik, maka mereka hanya bisa melakukan perlawanan secara simbolis. "Jadi digambarkan bagaimana mereka begitu kecil untuk melawan kekuasaan kolonial yang begitu besar. Salah satu cara mereka mengekspresikan gerakan protes itu adalah dengan lewat jago. Orang-orang kecil berkumpul, jago ditandingkan begitu, di situ dengan sangat baik Romo mengatakan desir-desir perasaan 'menang atau kalah' ya jago saya, 'mati opo ora', itu kan seperti perasaan-perasaan di medan perang," jelas Eka.

Baca Juga: Karsi Ditemukan Meninggal Dunia di Dalam Sumur

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Perlu 7 Pilar Fondasi Sistematik Kinerja Aset

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:20 WIB

Lagi, Dr Sihabul Millah Pimpin IIQ An Nur Yogyakarta

Sabtu, 20 Desember 2025 | 20:30 WIB

UMJ Perlu Melangkah ke Universitas Kelas Dunia

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:15 WIB
X