Menanggapi Eka, Sindhunata sepakat bahwa kebudayaan menjadi satu-satunya yang dimiliki wong cilik. Hal ini jugalah yang menjadi perlawanan mereka. "Ini yang membuat mereka melawan ternyata, dalam Samin, dalam perang Diponegoro. Saya kira itu yang ingin saya sampaikan bahwa betul-betul kebudayaan itu mempunyai kekayaan yang luar biasa, juga untuk mengintegrasikan apa saja yang datang dari luar," ujarnya.
Sindhunata menjelaskan temuannya tentang ratu adil ini sebagai suatu khasanah lokal. Ia ingin mengangkat derajat ratu adil ini menjadi suatu pijakan universal. Karena secara sejarah, dikatakan Sindhunata, perlawanan semacam ini ada Vietnam, Filipina, Myanmar, dan pada waktu itu bahkan ada di barat yang terkenal dengan perang petani. "Ketika Bung Karno mengaitkannya dengan marhaenisme, dengan mudah, saya mengaitkannya dengan teologi pembebasan yang analisanya juga ke marxis. Jadi ternyata kalau kita betul-betul meneliti apa yang sebenarnya ada pada wong cilik, itu mempunyai nilai humanisme yang universal, mempunyai pengharapan yang universal dan bahkan mereka memang layak untuk direalisasikan secara universal. Saya hanya membutuhkan pertolongan untuk mempercerahnya lagi bahwa marxisme pun harus menjadi marhaenisme di Indonesia," tutup Sindhunata. (*-4)