KRJogja.com – Pemilu di Indonesia semakin dipengaruhi oleh penggunaan ruang digital yang berpotensi besar menjadi media penyebaran disinformasi, seperti penggunaan akun robot untuk mengacaukan informasi dan kampanye hitam (black campaign).
Sayangnya, saat ini belum ada landasan hukum yang meregulasi risiko-risiko ini secara efektif, dan penyelenggara pemilu pun kurang progresif dalam masalah tersebut.
Isu ini kemudian diangkat CfDS UGM bersama Perludem dalam acara Desus #15 bertajuk “Gotong Royong Lawan Disinformasi Pemilu: Upaya Multipihak di Indonesia”.
Dalam kesempatan ini menghadirkan pembicara yaitu Iradat Wirid (Deputi Sekretaris Eksekutif CfDS), Heroik Pratama (Peneliti Perludem), Septiaji Eko Nugroho (Ketua Mafindo), dan Umi Illiayani (Anggota Bawaslu DIY) dengan dimoderatori oleh Arsya Lay (Asisten Peneliti CfDS).
Iradat Wirid menekankan fenomena mass misinformation yang paling disorot sepanjang sejarah pemilu jatuh pada Pemilu 2019.
Saat itu, hoaks atau kabar bohong merajalela di internet, dan dampaknya terlihat dari munculnya fenomena voter suppression.
Hal ini menyebabkan penyelenggara pemilu dan organisasi masyarakat sipil menjadi kerepotan dalam menanggulanginya karena terdapat tekanan terhadap para pemilih yang bersifat mengintimidasi secara langsung, terjadi penyebaran disinformasi untuk mengelabui pemilih, adanya gangguan jalur komunikasi lawan sehingga sulit berkomunikasi dengan pemilih, dan hak seseorang untuk memilih diusik.
“Menindaklanjuti masalah ini, Perludem menginisiasi terbentuknya kolaborasi multipihak dalam penanganan disinformasi pemilu. Langkah pertama adalah dengan mengidentifikasi organisasi sipil yang memiliki fokus dan program pada isu demokrasi digital, disinformasi, dan kepemiluan”, tutur Heroik Pratama menambahkan.
Para pihak kemudian dipertemukan dalam rapat koordinasi rutin yang diorganisir oleh Perludem. Koalisi ini pun akhirnya tergagas di bawah nama Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu, dengan visi dan misinya untuk mewujudkan ekosistem digital yang demokratis dan memperkuat kemampuan mengungkap disinformasi pemilu.
Tantangan Pemilu 2024 dan Upaya Kolaboratif dan Penguatan Masyarakat Sipil
Ketika menjelang Pemilu pada 2024 lalu, media sosial Indonesia, seperti TikTok dan X dibanjiri oleh disinformasi politik, yang mana ditemukan hingga 1.292 kasus disinformasi politik.
Selain dapat memicu kekerasan, disinformasi politik dapat menyebabkan masalah lain dalam pemilu. Dampak tersebut termasuk mendelegitimasi proses dan hasil pemilu, mengacaukan informasi pemilu, mengganggu hak pilih, dan memanipulasi informasi untuk kepentingan kandidat tertentu.
Perludem menemukan banyak iklan politik yang tidak dilaporkan ke lembaga penyelenggara pemilu. Disinformasi ini disebarkan melalui tiga tahapan: pertama, produksi konten iklan politik yang direkayasa dengan segmentasi demografis platform tertentu.
Kedua, rekapitulasi konten sejenis dalam jumlah yang masif. Dan ketiga, penyebaran iklan politik yang disesuaikan dengan target.