KRJOGJA.com - Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada (UGM) resmi mengukuhkan Prof. Dr. Nur Rachmat Yuliantoro sebagai Guru Besar dalam bidang Pembangunan Internasional di Asia Timur, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul 'Isu "Jebakan Utang" dalam Pembiayaan Proyek-Proyek Belt and Road Initiative (BRI) Cina di Indonesia: Sebuah Kajian Terbuka tentang Kompleksitas dan Tantangan', Nur menyoroti kompleksitas relasi pembangunan antara Indonesia dan Cina, khususnya melalui skema pembiayaan proyek BRI.
"Utang luar negeri Indonesia kepada Cina bisa kita baca sebagai sebuah 'simpul Gordian', yang mencerminkan keterikatan kompleks antara ketergantungan ekonomi, tantangan kedaulatan wilayah, dan kepentingan politik elite domestik," tegasnya, Kamis (24/7), di Balai Senat UGM. Dalam pandangannya, persoalan ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang relasi kuasa dan strategi geopolitik.
Nur menjelaskan bahwa konsep 'jebakan utang' dalam konteks pembangunan internasional tidak bisa hanya dilihat dari nominal utang semata, melainkan harus dikaji dalam kerangka yang lebih luas, termasuk akar persoalan ketimpangan global yang mengakar dari sejarah kolonialisme.
Ia mengajak publik untuk tidak gegabah menilai inisiatif BRI semata-mata sebagai upaya hegemonik, meskipun proyek ini menjangkau lebih dari 150 negara dengan pembiayaan ambisius hingga 1,6 triliun dolar AS. Menurutnya, BRI juga membuka peluang kerja sama yang lebih setara antarsesama negara berkembang, namun ini hanya dapat dimanfaatkan jika ada tata kelola yang kuat dan strategi nasional yang jelas.
Dalam konteks Indonesia, Nur memaparkan proyek seperti kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) sebagai contoh konkret relasi ekonomi-politik yang rumit. Pembengkakan biaya dan keterlibatan APBN telah menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan fiskal dan transparansi pengelolaan utang. "Dalam kasus Whoosh, kita menyaksikan bagaimana utang luar negeri bisa bertransformasi menjadi beban terselubung negara," jelasnya.
Lebih lanjut, Nur menggarisbawahi bahwa label 'jebakan utang' terhadap Cina banyak diperdebatkan dan belum memiliki dasar empiris yang kuat. Ia menyoroti studi yang menunjukkan bahwa tuduhan tersebut tidak selalu mencerminkan realitas di lapangan. "Jika kita kaji lebih dalam, banyak kegagalan proyek bukan karena strategi jahat Cina, tapi justru disebabkan oleh salah urus elite lokal dan lemahnya kapasitas institusional," ujarnya.
Baca Juga: Drama Korea The Defects Suguhkan Kritik Lewat Genre Thriller yang Menggebrak
Namun demikian, Nur juga menyoroti dimensi non-ekonomi dari isu ketergantungan utang, seperti potensi menyempitnya ruang manuver diplomasi luar negeri Indonesia dalam menyuarakan isu-isu sensitif seperti Laut Natuna atau kondisi Muslim Uighur. "Persepsi bahwa Indonesia tergantung secara ekonomi kepada Cina telah memperumit postur diplomatik kita, terutama ketika berhadapan dengan konflik kedaulatan atau HAM," katanya.
Sebagai solusi, Nur mengusulkan strategi konkret bagi Indonesia agar tidak terjerat dalam jebakan utang, antara lain melalui diversifikasi pembiayaan dengan melibatkan lembaga keuangan multilateral dan investasi swasta. Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam negosiasi dan pelaporan pinjaman serta pengawasan masyarakat sipil untuk menekan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Sebagai penutup, Nur menyampaikan pentingnya penguatan kapasitas negosiasi, mekanisme tata kelola, serta sinergi kebijakan lintas sektor agar pembangunan infrastruktur tidak menjadi alat dominasi. "Simpul Gordian utang ini tidak akan terurai hanya dengan satu tebasan, tapi butuh kecermatan, keberanian, dan keteguhan dalam mengambil keputusan yang berpihak pada kedaulatan dan keberlanjutan," pungkasnya.