Ana Riana Dosen Hukum UP 45 Raih Gelar Doktor Setelah Bahas Disharmoni Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Photo Author
- Rabu, 5 November 2025 | 19:15 WIB
Dr Ana Riana setelah sidang disertasi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  (Ist)
Dr Ana Riana setelah sidang disertasi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Ist)



Krjogja.com - SLEMAN - Dosen Ilmu Hukum Universitas Proklamasi 45 Sleman, Dr Ana Riana, S.H., M.H., CTL., CM., resmi meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasi berjudul Disharmoni Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Mediasi Antara Pekerja dengan Pemberi Kerja (Studi Kasus di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Dalam penelitiannya, Ana menyoroti persoalan efektivitas penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang masih menyisakan banyak tantangan, khususnya pada tahap mediasi tripartit.

Dalam ujian doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (5/11/2025), Ana menemukan bahwa meskipun secara prosedural pelaksanaan mediasi di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY telah mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), namun secara substantif belum mampu menjamin keadilan yang merata bagi pekerja dan pemberi kerja. "Data di DIY dari tahun 2020 hingga 2023 mencatat ada 787 perkara yang masuk, dengan 66,58 persen berhasil diselesaikan melalui perdamaian atau perjanjian bersama. Namun 33,42 persen sisanya masih berujung pada anjuran mediator yang tak ditindaklanjuti," jelas Ana.

Baca Juga: Alhamdulillah, Bandara YIA jadi Embarkasi-Debarkasi Haji

Menurutnya, kondisi tersebut menunjukkan adanya disharmoni sistemik dalam mekanisme penyelesaian non-litigasi. Salah satu penyebab utamanya adalah ketimpangan struktural kuasa antara pekerja dan pengusaha.

"Ketidakseimbangan sumber daya dan pemahaman hukum membuat hasil mediasi sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan keadilan substantif," sambungnya.

Selain itu, Ana juga menyoroti adanya perbedaan perspektif di kalangan mediator mengenai konsep keberhasilan mediasi. Sebagian menilai keberhasilan bergantung pada itikad baik para pihak, sementara sebagian lain menekankan kapasitas profesional mediator.

Baca Juga: Menko Muhaimin Instruksikan BGN Selenggarakan MBG Tanpa Barang Impor

"Fragmentasi cara pandang ini menyebabkan tidak adanya standar metodologis yang seragam dan berdampak pada legitimasi sistem mediasi itu sendiri," tambahnya.

Dari hasil penelitiannya, Ana menawarkan gagasan pembentukan Komisi Keadilan Ketenagakerjaan sebagai solusi jangka panjang. Komisi ini diusulkan sebagai lembaga independen di luar struktur birokrasi daerah dengan kewenangan quasi-yudisial. Ia mengacu pada model Fair Work Commission (FWC) di Australia yang terbukti efektif dalam memperkuat posisi mediator dan mempercepat penyelesaian sengketa ketenagakerjaan.

"Selama ini mediator di Disnakertrans sering kali hanya fokus pada aspek legal formal tanpa ruang untuk membangun kedekatan emosional dengan para pihak. Dengan adanya Komisi ini, proses mediasi bisa lebih efektif dan hasilnya memiliki kekuatan hukum yang mengikat," paparnya.

Ana juga menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas mediator melalui pelatihan interdisipliner yang mencakup aspek hukum, komunikasi, dan sosiokultural. Mediator dikatakannya tidak cukup hanya paham aturan.

"Mereka harus bisa membangun dialog empatik agar mediasi benar-benar menjadi ruang keadilan yang bermartabat," tegasnya.

Menariknya, Ana juga mengusulkan integrasi nilai-nilai keadilan dalam Islam, seperti konsep As-Sulhu (perdamaian) dan Tahkim (penetapan pihak ketiga sebagai penengah), sebagai inspirasi sistem mediasi modern. "Nilai-nilai ini dapat memperkuat legitimasi moral sekaligus efisiensi penyelesaian konflik kerja," ujarnya.

Ia menambahkan, kajian di DIY menjadi menarik karena meskipun provinsi ini bukan daerah industri besar, jumlah kasus hubungan industrial cukup tinggi dan kompleks, melibatkan sektor pendidikan, perhotelan, hingga jasa. "Kalau di Jawa Tengah dengan banyak kabupaten/kota ada 100 perkara, di DIY yang hanya lima kabupaten/kota bisa mencapai 80 perkara. Ini menunjukkan tingginya dinamika hubungan kerja di DIY," ungkapnya.

Dengan disertasinya ini, Dr Ana Riana berharap hasil penelitiannya bisa menjadi rekomendasi kebijakan nasional dalam memperkuat mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang adil, cepat dan bermartabat. "Penyelesaian sengketa kerja seharusnya bukan hanya soal administrasi, tapi juga tentang membangun keadilan sosial yang nyata di tempat kerja," pungkasnya. (Fxh)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Perlu 7 Pilar Fondasi Sistematik Kinerja Aset

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:20 WIB

Lagi, Dr Sihabul Millah Pimpin IIQ An Nur Yogyakarta

Sabtu, 20 Desember 2025 | 20:30 WIB

UMJ Perlu Melangkah ke Universitas Kelas Dunia

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:15 WIB
X