Sementara itu, warga RT 05 RW 03 Dusun Pakuran, Suharman (57) menambahkan, pertambangan menjadi salah satu harapannya untuk bisa memiliki rumah sendiri. Selama puluhan tahun, Suharman tinggal menumpang di rumah pamannya di Pakuran. "Sejak saya lahir, sampai sekarang saya tinggal di rumah peninggalan kakek yang hak warisnya jatuh ke paman, sedangkan paman dan anak-anaknya tinggal di Jakarta jadi rumah kosong. Keluarga kami sejak dulu dipasrahi menjaga dan membayar pajaknya," ujarnya.Â
Bahkan ketika anaknnya, Sutarno (35) berkeluarga, Suharman hanya bisa membangunkan rumah bambu berukuran kurang lebih 6 x 4 meter di kebun pamannya. Bantuan rehab rumah dari pemerintah pun sulit didapat karena bukan hak milik. "Mau bangun permanen, bukan tanah saya. Sementara bisanya membangunkan rumah sederhana dulu," tuturnya.Â
Ia mengaku khawatir apabila suatu saat keluarga pamannya punya niat menjual tanah dan bangunan. Padahal, Suharman tidak memiliki rumah lain. Ia hanya punya dua petak tanah warisan seluas 4.000 meter di atas bukit. Â
Karena medannya sulit, Suharman tidak dapat mendirikan bangunan di tanah tersebut. "Harus diratakan dulu, kalau dikerjakan sendiri, kira-kira butuh waktu berapa lama dan biaya sampai lahan siap? Sementara penghasilan sebagai buruh tidak seberapa," katanya.Â
Mendengar rencana adanya penambangan di bukit, Suharman mau karena lahannya tidak dibeli pengusaha. Bahkan ia mengaku usul agar tanahnya diratakan lebih dulu. "Silakan diambil biar rata, saya mau meski tidak dapat kompensasi apa-apa. Yang penting bisa punya lahan untuk dibangun rumah," tandasnya.(Jas)