Semua Komponen Masyarakat Harus Melindungi Anak dari Penyebaran Paham Radikalisme

Photo Author
- Jumat, 26 Juli 2019 | 19:51 WIB
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait.

“Saya kira rumah harus tetap menjadi rumah yang menanamkan kaidah-kaidah agama yang ada. Jadi tidak mengajarkan yang berbeda dengan kaidah kaidah bangsa kita. Keluarga harus menciptakan rumah yang terus beribadah sesuai dengan kaidah-kaidah agama yang sudah ada. Tidak perlu mencari pembaharuan-pembaharuan. Kaidah-kaidah yang ada tidak boleh diubah lagi dan sebagainya,” ujar pria yang sudah 12 tahun menjadi Sekjen Komnas PA ini. 

Menurutnya fungsi ketahanan keluarga adalah untuk menciptakan dam menguatkan kembali rumah yang terus beribadah sesuai norma agama dan mengubah paradigma atau pola pengasuhan yang otoriter menjadi pengasuhan yang dialogis dan partisipatif. 

“Polanya harus diganti, seperti mendengarkan keluhan anak, memberikan kesempatan anak untuk bercerita dan sebagainya. Itu merupakan metode yang harus dilakukan di dalam proses membangun tumbuh kembang anak. Ini agar anak bisa memahami apa yang sedang terjadi di lingkungannya,” ujarya. 

Selain itu menurutnya  lembaga pendidikan juga harus dapat menanamkan pendidikan deradikalisasi.  Kalau misalnya sekarang ini ada anak yang sudah tidak menghormati bendera, tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, tidak mau tahu konten atau isi dari Pancasila maka hal itu adalah bagian dari penanaman penolakan dari ideologi bangsa. Untuk itu kurikulum pendidikan wajib menyatakan bahwa ada kurikulum deradikalisasi mulai dari tingkat SD sampai jenjang pendidikan menengah atas. 

“Karena kurikulum pendidikan kita sekarang ini  tidak partisipatif dan tidak dialogis. Karena dia kecenderungan nya transfer knowledge, seolah-olah knowledge para pengajar, kurikulum itu adalah hal yang paling utama. Padahal dialog pada anak dan mendengarkan pendapat anak itu sangat penting. Untuk itu perlu adanya pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan yang bersifat dialogis dan partisipatif. Ini agar tidak ada lagi guru yang hanya sekedar transfer knowledgenya kepada anak-anak. “Tetapi guru harus berfungsi bagaimana sebagai mediator dan fasilitator terhadap apa yang dipikirkan anak-anak menyangkut tentang dirinya termasuk tentang pendidikan dan keilmuan akademik,” katanya. 

Selain itu menurutnya, masyarakat di lingkungan anak juga harus mengambil peran dalam membentengi anak dari paham-paham kekerasan. Masyarakat harus bisa membangun budaya ketimuran kita yang selama ini saling memperhatikan. Oleh karena itu Gerakan Perlindungan Anak yang disebutnya sebagai Gerakan Perlindungan Anak Sekampung dan Sedesa harus dibangkitkan. Dalam artian masyarakat diminta untuk ikut membangun budaya ketimuran kita yang peduli dengan motto ‘Anakmu adalah Anakku’ atau ‘Cucumu adalah Cucuku’. 

“Dengan menggunakan motto seperti itu sehingga dengan apa yang terjadi di lingkungannya, di desanya itu adalah tanggung jawab bersama. Dengan tidak membiarkan itu adalah tanggung jawab masing-masing keluarga. Jadi harus sinkron kalau rumah bisa  ramah terhadap anak, tentunya lingkungan juga harus ramah terhadap anak,” kata pria kelahiran Pematang Siantar, 17 Agustus 1960 ini. 

Ini menurutnya agar rumah dan lingkungan soSial juga harus selalu terus beribadah sesuai kaidah agama yang telah ada. “Bukan berarti menciptakan rumah rumah ibadah, bukan seperti itu. Tetapi semangat spiritual itu harus terus dibangun dalam rangka membentengi anak dari paham-paham radikalisme atau paham paham atau ujaran ujaran kebencian itu,” kata Arist. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: danar

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puasa Ramadan 2026 Sebentar Lagi Datang

Minggu, 19 Oktober 2025 | 12:30 WIB

Unik, Ijab Qobul di Atas Motor Kuna

Selasa, 24 Juni 2025 | 16:50 WIB
X