KULONPROGO, KRJOGJA.com - Masih miskinnya para penderes kelapa di Kulonprogo yang jumlahnya mencapai 5.000 orang saat ini karena mereka hanya menyetor produk sementara yang menentukan harga adalah pemegang lisensi organik.
"Negara Indonesia yang besar ini belum punya lisensi organik internasional. Demikian pula terhadap akreditasi rumah sakit sertifikasinya dari Belanda dan negara lain, sehingga sertifikat International Organization for Standardization (ISO) dari internasional," jelas dr Hasto.
Dibidang pertanian, Pemkab Kulonprogo sedang menskenario membuka lahan sawah baru. Upaya yang telah dilakukan membebaskan lahan sepanjang 10 kilometer untuk irigasi Kalibawang dan sekarang tinggal membangun selokannya sampai Kecamatan Sentolo. Dengan adanya irigasi tersebut maka lahan persawahan di Desa Kaliagung sampai Sentolo dapat teraliri air irigasi. Cetak sawah 450 hektare (ha) hanya untuk mengganti kalau nanti ke depan akan kehilangan sekitar 350 ha lahan sawah.
"Skenario untuk tiga tahun ke depan sudah disiapkan. Apakah itu bisa untuk 10 tahun lagi?. Saya kira tidak bisa, karena jumlah penduduk makin bertambah sementara tanahnya tetap," tutur dr Hasto.
Pemerintah dan masyarakat hendaknya realitis saja, nanti banyak yang akan beralih dari sektor pertanian berkembang ke sektor jasa. Apalagi wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak seperti Jawa Tengah yang lahannya luas. Persatu satuan jiwa di Kulonprogo hanya memiliki 400 meter. Kalau ada penambahan lahan persawahan 10 ribu ha maka nanti hanya untuk 10 ribu warga.
"Kita bisa memaksakan diri untuk menghidupi hanya dari lahan pertanian saja. Biar yang 10 ribu warga, kaya dari sawah sedangkan 470 ribu warga lainnya didorong untuk sektor-sektor yang lain," tandas Hasto menambahkan upaya tersebut paling menurunkan kemiskinan dua persen, itu sudah prestisius. (Wid/Rul)