Sambil menyeruput kopi atau menikmati sate klathak, pengunjung bisa berbincang santai dengan penjual, sambil menikmati musik yang mengalun dari kejauhan.
Sementara itu, Guyub Yogja kembali hadir membawa keceriaan. Komunitas kopi, sepeda onthel, fotografi, hingga otomotif akan meramaikan festival lewat pemutaran film, workshop, hingga pameran.
Ruang interaksi ini menjadikan Ngayogjazz lebih dari sekadar konser — ia menjelma jadi perayaan kehidupan.
Kata Kusen Alipah Hadi, salah satu penggerak Ngayogjazz, festival ini bukan hanya peristiwa budaya — tapi juga ibadah seni.
“Ibadah yang tumbuh dari cinta. Tidak ada paksaan, semua dilakukan dengan suka cita,” katanya suatu ketika.
Dan mungkin benar. Karena siapa pun yang datang ke Ngayogjazz tahu: Di sini, musik bukan hanya didengar, tapi dirasakan; bukan hanya dimainkan, tapi dibagikan.
Seperti biasa, Ngayogjazz bisa dinikmati gratis oleh siapa saja. Tak perlu tiket, cukup datang dengan hati terbuka.
Panitia hanya berharap pengunjung menjaga sopan santun, kebersihan, dan ketertiban. Sisanya, biarkan jazz dan Imogiri bekerja sama menciptakan sihirnya sendiri.
Di Ngayogjazz 2025 ini — musik bukan sekadar bunyi, tapi panggilan untuk pulang. (Abp)