SEMESTA tak lekas menghentikan tangisan dan duka pada pulau yang dijuluki Seribu Masjid ini. Laut biru dan pasir putih seolah-olah ikut meraung dan merintih kesakitan bersama sisa-sisa ombak yang terkapar. Gunung Rinjani tidak menangis. Ia justru berdiri kokoh dan gagah seolah-olah sedang menyombongkan kekuatannya yang begitu tangguh. Lombok, pulau termasyhur dengan kesemampaian matahari menarikan pantulan jingga setiap petang, kini hanya tersisa sebuah kenangan.
Pulau yang ditinggali suku Sasak ini sempat mengalami trauma yang mendalam. Gempa berkekuatan 6,4 SR tanggal 29 Juli 2018 pukul 06.47 WITA mampu membuat tangis dan luka. BMKG mencatat, setidaknya ada 585 kejadian gempa susulan pascakejadian dan berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), secara keseluruhan kerusakan yang diakibatkan oleh rangkaian Gempa Lombok 2018 adalah 71.962 unit rumah rusak, 671 fasilitas pendidikan rusak, 52 unit fasilitas kesehatan, 128 unit fasilitas peribadatan serta sarana infrastruktur.
Rela dan terlatih adalah dua kata yang menjadi motivasi bagi Ratih Jessy Arieswandari, relawan gempa Lombok. Mahasiswa semester lima ini sudi tidak mengikuti kuliah selama sepuluh hari untuk menjadi bagian dari sejarah. “Ketika Lombok dilanda gempa berkali-kali, aku merasa mereka sangat membutuhkan ulur tangan dan pendampingan para relawan,†ungkap mahasiswa UGM ini.
Petualangan tersebut ia mulai pada tanggal 20 Agustus 2018. Mahasiswa berumur 19 tahun itu pergi bersama Komunitas Pendaki Gunung (KPG) Yogyakarta. Kemudian mereka melanjutkan pemberangkatan dari stasiun Purwosari pukul 17.00 WIB ke Surabaya.
Tanggal 21 Agustus 2018, sampailah ia di Surabaya pukul 01.00 WIB. Kemudian, Jessy dan teman-teman meneruskan perjalanan menggunakan kapal ke Gunung Sari, Lombok dari pukul 14.00 WIB hingga 18.00 WITA.
“Perjalanan dari stasiun Lempuyangan Yogyakarta naik Pramex ke Solo. Dari sana naik mobil sampai Surabaya, terus dari Surabaya ke Lombok naik kapal Legundi bayar 170 ribu dan sudah termasuk makan,†tangkasnya.
Gunungsari terasa panas. Walaupun malam, rasanya udara tetap saja tidak membantu kesyahduan susasana malam. Jessy melihat begitu banyak pengungsi dan beberapa relawan yang sedang bertugas. Ia juga berkenalan dengan beberapa relawan dari berbagai daerah lainnya, seperti Solo, Karawang, Garut, Bandung, Wonosobo, dan Magelang.
Banyak anak yang trauma pasca bencana alam ini. Melihat hal tersebut, Jessy turut mendampingi mereka agar merasa tenang. Beberapa dari mereka ada yang takut mandi di kamar mandi atau hanya mau tidur di pohon hanya karena takut tiba-tiba terjadi gempa. Di sana, ia dan teman-temannya menerangkan bagaimana langkah yang harus dilakukan ketika terjadi gempa mendadak. “Kita melakukan pendekatan dan arahan ke anak-anak dan ibu-ibu kalau semisal ada gempa tiba-tiba,†pungkasnya.