“Dilihat dari psikis ada rasa cemas, sedih dan marah. Ada gejala sifatnya fisik, sifatnya mual. Makanya kita kerjasama dengan tim medis. Gejala perilaku seperti teriak dan histeris. Kami akan terus lakukan pendampingan standby selama 1 minggu kedepan, baik dari relawan dan psikolog, terus akan memonitor kondisi psikologis siswa dan keluarga,†ungkapnya pada wartawan.
Tak hanya itu, tim psikolog menurut Siti juga akan terus melakukan penampingan dari rumah ke rumah untuk melihat perkembangan siswa terutama para korban.
“Kami juga akan tetap memantau bagi siswa yang tidak mengikut trauma healing. Karena kadang-kadang hal semacam ini nular. Melihat teman-temannya nangis, siswa lain akan empati dan menangis pula,†ungkapnya lagi.
Oneng Nawaningrum, Koordinator Pelaksana Pendampingan Psikologis menambahkan timnya juga sudah melakukan home visit pada sekitar 20 rumah atau keluarga. Home visit dilakukan tak hanya pada korban dan keluarga saja namun juga rekan dekat korban.
“Jadi home visit pertama itu bukan hanya korban, namun juga teman-temannya atau keluarga yang mengalami dan dekat dengan korban. Jadi memang kami masih memantau ke masyarakat. Jika di puskesmas ada yang datang maka kita akan home visit. Saat ini kita melalukan assessment untuk melihat apakah memang ada siswa yang membutuhkan pendampingan lebih karena ada beberapa murid yang memang tidak paham apa yang sedang mereka alami,†imbuhnya.
Selama seminggu kedepan, di masing-masing kelas masih akan disiagakan psikolog dan relawan dari berbagai pihak.
“Jadi masing-masing kelas ada 3 psikolog dan 10 relawan bantuan dari berbagai fak psikolog dari universitas di Yogyakarta,†lanjut dia. Data dari tim psikolog sendiri di hari pertama masih ada 17 siswa yang tak masuk sekolah. 5 berasal dari kelas 8 sementara sisanya dari kelas 7. (Fxh)
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.