SLEMAN, KRJOGJA.com - Potensi praktik politik uang pada Pilkada 2020 lebih tinggi dibandingkan dengan Pemilu serentak 2019 lalu. Diprediksikan hal ini terjadi lantaran Pilkada 2020 merupakan pertarungan lokal antar warga sehingga sangat dimungkinkan praktek politik uang lebih tinggi. Â
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sleman, M Abdul Karim Mustofa kepada KRJOGJA.com, Kamis (3/10/2019) di kantornya menuturkan potensi money politic saat Pilkada 2020 mendatang diprediksikan lebih besar kerawanan dan potensinya. Meski demikian Bawaslu belum dapat memetakan potensi politik uang ada di kawasan mana saja karena belum ada calon yang mendaftar. Meski demikian yang perlu diwaspadai adalah potensi politik uang tinggi justru terjadi di TPS masing-masing calon.Â
"Politik uang memang paling tinggi kasusnya dibandingkan dengan pelanggaran kasus lain. Ini tugas berat Bawaslu. Sosialisasi kami gencarkan terutama dalam hal memberikan pemahaman ke masyarakat kaitan menerima uang dari calon membuat hak politik mereka tergadaikan," urai Karim
Potensi pelanggaran lain berdasarkan pengalaman tahun lalu yakni pidana pemilu yaknj pergeseran surat suara yang terjadi di Depok, praktik politik uang dan netralitas serta keterlibatan PNS dalam pemilu 2019.
Ditambahkannya, saat ini pihaknya tengah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat kaitan tahapan pengawasan Pilkada 2020. Adapun materi sosialisasi Bawaslu Sleman di antaranya pengawasan pilkada, prosedur pelaporan dari masyarakat, pembentukan desa Anti Politik Uang (APU) dan sebagainya. Bawaslu membentuk desa APU seperti halnya desa lain. Sebelumnya sudah dibentuk di Candi Binangun Pakem dan Sardonoharjo Ngaglik.
Saat ini, imbuhnya Bawaslu Sleman dan Kesbangpol melakukan sosialisasi terkait persiapan Pilkada 2020 terutama dalam hal pengawasan. Dalam sosialisasi masyarakat didorong untuk berani dan mau melaporkan terkait pelanggaran pemilu yang terjadi.
Karim menambahkan dari 17 kecamatan, baru 7 kecamatan yang telah dilakukan sosialisasi yakni Kecamatan Minggir, Seyegan, Depok, Cangkringan, Gamping, Prambanan dan Kalasan. Sisanya 10 kecamatan belum dilakukan sosialisasi yakni Godean, Tempel, Ngemplak, Pakem, Turi, Mlathi, Moyudan, Ngaglik, Beran, Sleman.
"Dari sosialisasi yang telah dilakukan biasanya mereka mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019. Mengapa banyak pelanggaran yang tidak bisa ditindak, beban kerja petugas yang overload serta masih maraknya money politik. Pelanggaran yang dilaporkan, tetapi tidak ada tindakan karena tidak memenuhi uji materiil dan uji formal sehingga pelaku susah untuk dijerat," urai Karim lagi.(Aje)