YOGYA, KRJOGJA.com - Front Perjuangan Rakyat (FPR) menilai meskipun UGM merupakan kampus terbesar di Indonesia, UGM bukan kampus yang dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal ini terbukti dari biaya UKT di UGM yang semakin mahal setiap tahunnya.
Selain itu, keterlibatan UGM dalam legitimasi kebijakan rezim Jokowi-JK yang anti rakyat, ditambah dengan kasus-kasus yang terjadi di UGM akhir-akhir ini, semakin membuat UGM tidak sesuai dengan reputasinya. Hal ini telah disampaikan oleh massa yang tergabung dalam FPR dalam Aksi Hari Buruh, yang berlangsung Rabu (01/03/2019) di bunderan UGM.
Rencannya aksi tersebut akan dilakukan di dalam kampus UGM, namun tidak mendapatkan izin sehingga dilakukan di bunderan UGM.
Salah satu anggota yang merupakan koordinator umum dari aksi ini, Angga (28) menuturkan bahwa selain ketidakadilannya dalam menyikapi kasus-kasus yang terjadi di UGM, UGM juga merupakan kampus yang melegitimasi kebijakan Jokowi-JK yang anti rakyat melalui riset, kajian, dan produksi ilmu pengetahuan di dalamnya.
Hal ini terlihat dari keterlibatan UGM dalam perampasan tanah di Indonesia yang kemudian melahirkan tenaga kerja murah di perkotaan. Sehingga UGM menjadi institusi pendidikan yang tidak lagi menempatkan ilmu pengetahuan untuk diabdikan kepada rakyat, melainkan akan disampaikan kepada hamba liberalisme tersebut.
Keterlibatan-keterlibatan tersebut meliputi keterlibatan pembangunan NYIA melalui Amdal, keterlibatan beberapa dosen UGM dalam pembangunan Amdal di PT. Semen Indonesia, keterlibatan UGM dalam pembangunan di proyek benoa, dan keterlibatan UGM dalam pembangunan jembatan di pulau reklamasi di Jakarta, dan sebagainya.
Hal inilah yang membuat UGM tidak sesuai dengan reputasi yang dimilikinya. Tidak adanya keterbukaan dari UGM dalam menjaga nama baik juga membuat UGM jomplang untuk disebut sebagai institusi terbaik. Melalui Aksi Hari Buruh ini diharapkan dapat menyadarkan UGM untuk menyikapi berbagai kasus dengan baik dan sebagaimana mestinya, bukan malah ditutup-tutupi demi nama baik.