KRjogja.com - SLEMAN - Berawal ingin memberikan manfaat serta kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya terutama perempuan, Alexandra Wasito mendirikan organisasi Padamu Indonesia. Salah satu tujuannya ingin memberi solusi kelangkaan air bersih di Desa Tlilir, Temanggung, Magelang.
Perempuan yang masih tercatat sebagai pelajar di Mountainview Christian School Salatiga ini sangat tertarik dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk warga sekitar lereng gunung yang kekurangan air. Pasalnya ia sering melihat air hujan kerap diabaikan begitu saja sehingga terbuang tanpa dimanfaatkan.
Baca Juga: Komunitas Muhammadiyah Turun ke Sungai Winongo Pungut Sampah, Lempar Keprihatinan 'War Wer'
"Padahal kemanfaatan air hujan sangat besar, terlebih ketika memasuki musim kemarau. Misalnya di Desa Tlilir Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung, apabila musim kemarau sangat kekurangan air bersih," ungkap Alexa sapaan akrabnya, Sabtu (25/11/23). Sebab itulah kami mencoba untuk mencari solusi dengan Proyek Air Untuk Anak Bangsa dengan memanfaatkan air hujan, yang ditampung di bak atau tangki," ujarnya.
Kampanye pemanfaatan air hujan pun tak hanya di lingkungan sekolah di mana Alexa belajar, namun juga didukung oleh teman-teman di Bina Bangsa School, SMA Karangturi, SMA Kolese Loyola dan SMA Sedes. "Kami mempresentasikan ke lebih dari 800 siswa, bagaimana meningkatkan kesadaran akan pentingnya akses air bersih untuk mendukung kemampuan perempuan dalam meningkatkan partisipasi dan pengambilan keputusan dalam komunitas mereka. Ketersediaan air bersih bisa menekan timbulnya penyakit dan bisa hidup lebih sehat. Selain itu kami juga mengedukasi akan pentingnya akses air bersih dengan cara memanen air hujan,'' jelasnya.
Baca Juga: BOB Gelar Turnamen Golf di Lereng Merapi, Padukan Sport dan Quality Tourism
Alexa menceritakan, pada Sabtu (18/11/23), sebanyak 50 relawan dari lima sekolah yaitu Mountainview Christian School, Bina Bangsa School, SMA Karangturi, SMA Kolese Loyola, dan SMA Sedes, serta perwakilan warga Desa Tlilir melakukan studi lanjut ke Sekolah Air Hujan Banyu Bening, Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman.
Banyak yang didapat di Sekolah Air Hujan Banyu Bening, di antaranya konservasi alam, terutama kampanye penggunaan air hujan. Air hujan tidak hanya untuk mengatasi kerentanan persediaan air selama musim kemarau, melainkan juga menyelamatkan generasi mendatang. Artinya, air hujan dapat menjadi sumber air yang konstan dan dapat diandalkan, pada musim kemarau. Pemanenan air hujan juga ramah lingkungan dan sudah diimplementasi di negara Kamboja, Tiongkok, India, dan Brasil.
''Kami mengusulkan pemanenan air hujan sebagai sumber air bersih yang berkelanjutan dan mudah diakses untuk Desa Tlilir. Sistem penyaringan dan elektrolisis ini merupakan sistem yang paling optimal untuk diterapkan karena memang terjangkau, efektif, serta tidak mahal pemeliharaan bagi penduduk desa.
Baca Juga: Ajak Riak Pengganti Yevhen Baha, Baru 22 Tahun dan Punya Dua Kewarganegaraan
Proyek Air Untuk Anak Bangsa untuk Desa Tlilir adalah sebuah ekspresi harapan, cita-cita untuk mewujudkannya transformasi, kesejahteraan dan perlindungan terhadap warga Desa Tlilir. "Kami fokus pada keberlanjutan dan memberikan solusi, mengedukasi masyarakat Tlilir, sekaligus mengimplementasikan pemanenan air hujan untuk mendukung ketersediaan air bersih. "Kami memberikan apresiasi kepada Djarum Foundation yang mendukung proyek Air Untuk Anak Bangsa, sehingga harapannya akan mengatasi permasalahan yang dihadapi warga Tlilir saat ini, yakni akses terhadap air bersih,'' sebutnya.
Sementara, Sri Wahyuningsih founder Sekolah Air Hujan Banyu Bening, menjelaskan secara teknis cara yang bisa dilakukan untuk menampung air hujan yaitu menggunakan Gama rain filter untuk menampung air hujan dalam toren atau tandon, berukuran 1.000 liter.
Baca Juga: SMF Akselerasi Pengembangan Homestay Milik Warga Desa Hargotirto
Di dalamnya terdapat penyangga filter berlapis. Jadi ketika air hujan mengalir dari talang air atau atap rumah masuk penampung, difilter selanjutnya bisa langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Air hujan yang sudah ditampung lalu dielektrolisis menjadi air basa yang siap dikonsumsi. Untuk membangun instalasi penyaringan permanen air hujan ini memang membutuhkan biaya yang lumayan, sekitar Rp 6 jutaan. Namun, cara ini tidak mutlak.
Jika tidak ada biaya, kami menyarankan untuk menampung hujan secara manual, yakni menggunakan ember atau panci. Hujan yang turun tidak bisa langsung ditampung. Harus menunggu 15 sampai 20 menit dari hujan pertama baru bisa ditampung, tujuannya supaya polutan yang terbawa air hujan mengendap,'' jelas Sri Wahyuningsih.