Pada tingkat nasional, kebijakan ini diterjemahkan dalam Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (Raperpres), yang akan menjadi pedoman teknokratik bagi kementerian dan lembaga terkait. Selain itu, program Pekan Kebudayaan Nasional juga mencerminkan komitmen pemerintah dalam mempromosikan prinsip keberlanjutan dan partisipasi publik dalam pengelolaan budaya. Hilmar menambahkan bahwa program ini juga sejalan dengan visi untuk menjadikan kebudayaan sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional.
Pendekatan Partisipatif Jadi Prioritas Utama Pemerintah
Keberlanjutan kebijakan kebudayaan menjadi prioritas utama pemerintah. Hilmar menjelaskan bahwa melalui pengawasan yang ketat terhadap RPJMN dan RPJMD, serta penempatan orang yang tepat di posisi strategis, pemerintah berkomitmen untuk memastikan kebudayaan Indonesia terus tumbuh dan berkembang. Inovasi kelembagaan, seperti yang diterapkan di Korea Selatan melalui agensi-agensi pemerintah, menjadi inspirasi bagi pengembangan model pelayanan publik di Indonesia. Model ini memungkinkan pemerintah untuk mengelola kebudayaan dengan pendekatan yang lebih adaptif dan responsif.
"Dengan transformasi ini, Indonesia tidak hanya menjaga kekayaan budayanya, tetapi juga memperkuat peran kebudayaan dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Pendekatan partisipatif dan kolaboratif akan membuat kebudayaan Indonesia semakin relevan dan inovatif di tengah dinamika global," jelas Hilmar. Ia juga menekankan pentingnya peran kebudayaan dalam membangun identitas nasional dan memperkuat daya saing bangsa di kancah internasional.
Baca Juga: Mahkamah Etika Nasional Diusulkan untuk Dibentuk, Tugasnya Apa?
Dukungan dari kalangan akademisi juga menjadi salah satu poin penting yang diangkat dalam kuliah umum ini. Dr G. R. Lono Lastoro Simatupang, Dosen Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM menekankan peran akademisi dalam perumusan dan pengontrol kebijakan kebudayaan.
"Kami mengucapkan terima kasih atas studium generale yang diberikan oleh Dirjen Kebudayaan kepada peserta secara insightful. Kegiatan ini bisa memberikan motivasi bagaimana akademisi memiliki peran tidak hanya dalam perumusan kebijakan tetapi juga pengontrol kebijakan. Hal ini dilakukan dengan metode yang bukan hanya melalui urusan kesenian semata, melainkan perkara biocultural diversity hingga wellness tourism," ungkapnya.
Kuliah umum ini memberikan wawasan kepada para mahasiswa pascasarjana UGM tentang pentingnya kebudayaan dalam pembangunan nasional. Pesan Hilmar Farid diharapkan dapat menginspirasi pemangku kepentingan budaya untuk terus memperjuangkan kebijakan yang relevan dan adaptif dengan konteks zaman. (*)