Lima pusata Ki Ageng Wonolelo. (Foto : Latief ENR)
Acara Saparan dengan membagi apem yang telah menginjak tahun ke-53, bagian mengenang Ki Ageng Wonolelo. Warga tidak berani meninggalkan ritual tersebut. Terbukti, setelah ritual tersebut dilaksanakan, Dusun Pondok Wonolelo 1 mulai berubah. Yang dulunya tandus, kini subur. Air juga mudah didapat. Sudah banyak sumur dan rumah tembok.
Dan karena tidak berani meninggalkan Saparan, di masa pandemi ini dihelat tertutup. Acara Saparan kemarin diisi tahlinan, tidak ada kirab. Apem yang selama ini menjadi simbol ritual, tetap dibikin dan dibagikan pada yang hadir, dengan jumlah tidak sebanyak tahun sebelumnya.
"Apem itu simbol bersedekah. Ki Ageng Wonolelo menyarankan agar kami membantu sesama, dengan banyak bersedekah pada orang lain," papar Juritno.
Selama tahlilan, lima pusaka Ki Ageng Wonolelo diletakkan di lokasi. Pusaka ini tersimpan terpisah. Sebelum acara, dikumpulkan lalu disatukan. Juritno mengistilahkan, disowankan.
Lima pusaka tersebut terdiri ageman (baju Ki Ageng Wonolelo), Alquran, tongkat, kopiah, dan kayu bongkahan mustaka masjid. Dianggap pusaka karena peninggalan Ki Ageng Wonolelo. Simbol pengingat perjuangan tokoh agama di era Kerajaan Mataram itu. Bukan jimat.
"Kalau nasihat diwariskan, tiap orang akan beda menerimanya, apalagi dalam jarak waktu lama. Dengan diberi tinggalan, akan dieling-eling. Kalau weling (yang diwariskan), bisa lupa," papar bapak dua anak itu.
Lima pusaka tersebut mengandung makna filosofis. Anggeman bermakna orang hidup harus punya agama. Alquran sebagai acuan atau dasar. Bongkahan mustaka masjid simbol menjalankan perintah Tuhan. Kopiah berfilosofi berpikir hati-hati, tidak ngawur. Setelah bisa memenuhi kebutuhan keluarga, disarankan membantu sesama, yang disimbolkan tongkat. Memberi tongkat penuntun jalan pada yang membutuhkan.
"Bila berpedoman itu (lima pusaka filosofis), dan semua berada dalam satu rumah, hidup akan mapan," ujar Juritno.
Tahlilan mendoakan Ki Ageng Wonolelo berlangsung khidmat. Tak hanya manusia, kegiatan tersebut juga diikuti mahkluk lain. "Kemarin ada banyak orang berpakaian putih, tinggi, wangi, keren, berwibawa. Ada yang duduk, ada yang berdiri. Begitu mendekati saya, saya nunduk, tidak berani memandang. Bapak juga tahu," kata Triska, putri Juritno. Triska sejak kecil dikarunia kepekaan melihat yang tak bisa terlihat manusia.
Pengakuan Triska dikuatkan Ninda, penari yang tinggal di Jalan Wates Yogyakarta, yang ikut tahlilan. "Iya, benar. Saya juga melihat. Saya juga nunduk saja," terang gadis indigo itu.
Ki Ageng Wonolelo semasa hidup dikenal sebagai penyebar agama Islam. Wajar bila banyak yang mendoakan. (Lat)