sleman

Di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Makan Sahur Jam 12 Malam

Sabtu, 18 Juni 2016 | 13:26 WIB

SLEMAN (KRjogja.com) - Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah salah satu masjid unik yang terletak di Plosokuning, Winomartani, Sleman. Masjid yang sudah berdiri sejak era Hamengkubuwono III ini tak hanya sebagai tempat beribadah saja, namun sengaja didirikan sebagai benteng pertahanan Keraton Ngayogyakarta dari serbuan tentara Belanda.

Masjid seluas 700 meter persegi itu, dulunya memang dibangun untuk tempat berkumpulnya orang-orang dengan kemampuan ilmu kanuragan tingkat tinggi. Dari situlah, kebiasaan para sesepuh yang berilmu tinggi itu kini menurun pada generasi berikutnya. “Tapi ilmu kanuragan yang dimiliki oleh sesepuh kami, tetap ilmu yang bertolak pada ajaran Islam,” terang salah satu ta’mir masjid, Kamaludin Purnomo.

Ia menuturkan, sebagai pusat pertahanan sektor utara, masjid itu memang kerap kali jadi sasaran tembak pasukan Belanda. Namun uniknya meski dikepung ribuan pasukan, masjid itu tetap saja tak tersentuh. Ribuan pasukan musuh selalu gagal memasuki area masjid itu.

Tak hanya itu, lontaran mortir yang dikirim dari markas Belanda di kawasan Adisutjipto pun ternyata meleset. Padahal mortil itu dilontarkan dengan mesin pelontar canggih dengan tingkat akurasi tinggi.

Kisah yang dituturkan oleh generasi kesembilan dari Kyai Mustofa, Imam Masjid Pathok Negoro Plosokuning pertama yang bergelar Hanafi I ini ternyata ada buktinya. Beberapa bulan silam, warga sekitar masjid menemukan mortir yang terpendam di tanah. “Itu adalah bukti bahwa dulu masjid ini pernah dilontari mortir. Tapi semuanya meleset,” tandasnya.

Ketangguhan masjid itu bukan tanpa sebab. Kemampuan ilmu kanuragan yang berasal dari keteguhan hati, kekhusyukan ibadah, serta ketekunan mengaji dan mengaji ilmu agama para kyai dan jamaah masjid ketika itu menjadi sumber utama kekuatan masjid yang kini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya itu.

Walau tak setekun dulu, tapi tradisi para leluhur itu setidaknya masih diteruskan oleh masyarakat sekitar masjid. Mulai dari amalan bacaan yang mereka sebut dala’il khoirot, tradisi iktikaf, hingga tradisi-tradisi Ramadan seperti saat ini. Menurutnya, kebiasaan masyarakat jamaah masjid selama Ramadan  kerap dianggap tak lazim oleh orang kebanyakan. Salah satunya yang sering membuat orang terkejut adalah makan sahur tepat pukul 00.00.

Ternyata makan sahur sedini itu pun bukan tanpa alasan. Usai makan sahur bersama di tengah malam itu, masyarakat biasanya melanjutkan aktivitasnya di masjid. Ada yang beriktikaf, ada pula yang mengaji hingga tiba waktu salat Subuh. “Kebiasaan makan sahur pukul 00.00 bukan kami yang bikin. Tapi itu sudah tradisi dari leluhur kami. Sebab masjid ini jadi bagian penting dari keraton,” terangnya.

Halaman:

Tags

Terkini

Kampus Berdampak, Memperkuat Kontribusi Kemanusiaan

Jumat, 19 Desember 2025 | 15:57 WIB

Sudarsono KH, Salah Satu Pendiri PSS Tutup Usia

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:15 WIB