Krjogja.com - SLEMAN - Kraton Yogyakarta melaksanakan Hajad Dalem Labuhan Merapi, Jumat (31/1/2025) memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Je 1958/2025. Labuhan yang dipimpin juru kunci Merapi, Mas Kliwon Suraksohargo Asihono atau Mbah Asih, membawa makna doa pada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus memohon dijauhkan dari marabahaya.
Prosesi labuhan diawali dengan perarakan ubarampe dari petilasan Mbah Marijan. Pada hari sebelumnya, ubarampe dibawa dari Depok menuju Cangkringan untuk kemudian diacarakan wayangan di Joglo Kinahrejo,
Mbah Asih mengatakan, Labuhan Merapi merupakan hajad dalem Kraton Yogyakarta, dimana abdi dalem Merapi yang melaksanakan. Maksud tujuannya menurut Mbah Asih adalah memohon doa pada Tuhan Yang Maha Esa untuk keberkahan dan dijauhkan dari malapetaka.
Baca Juga: Gol Diogo Dalot dan Kobbie Mainoo Antar Setan Merah Lolos Langsung ke 16 Besar Liga Europa
"Kalaupun ada erupsi, kecil-kecil saja, warga masyarakat bisa aman. Labuhan ini juga memperingati naik tahtanya atau tingalan jumenengan Sri Sultan HB X," ungkapnya.
Mbah Asih mengungkap, ada berbagai ubarampe yang dibawa dalam Labuhan Merapi. Adapun ubarampenya yakni selembar kain cangkring, kain kawung kemplong, semekan bangun tulak, semekan gadhung, kampoh poleng, dhestar daramuluk, peningset udaraga, rokok wangen, kemenyan, ratus minyak koyoh, uang tindhik juga apem mustaka.
"Maknanya beragam. Misalnya semekan bangun tulak, membawa makna harapan menolak bala atau malapetaka. Harapan agar masyarakat dijauhkan dari hal-hal buruk," sambungnya.
Prosesi Labuhan Merapi diikuti abdi dalem Merapi bersama masyarakat umum dimulai dari Petilasan Mbah Marijan hingga Srimanganti yang berjarak lebih kurang 2,5 kilometer. Rute yang ditempuh cukup berat karena menanjak.
Baca Juga: Prakiraan Cuaca DIY 31 Januari 2025: Hujan Lebat dan Angin Kencang Masih Mengancam
Sebelumnya pada Kamis (30/1/2025) malam, diadakan Wayangan dengan lakon Lampahan Wahyu Kalimosodo oleh dalang Ki Mas Riyo Bupati Anom (Drs Sigit Manggolo Seputro) juga Tari Pudyastuti dan doa bersama. Acara tersebut didukung oleh Dinas Kebudayaan DIY melalui Dana Keistimewaan.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakhsmi Pratiwi mengatakan DIY berdiri di atas nilai-nilai filosofis yang terus mengakar dan terus tumbuh hingga saat ini. Seperti tata kota yang mengacu kepada garis imajiner dari Pantai Parangtritis hingga Gunung Merapi.
Garis imajiner tersebut merupakan gagasan dari Sri Sultan Hamengkubuwana I yang memiliki makna mengenai falsafah perjalanan hidup manusia, yakni lambang keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesama manusia. Keselarasan dan keseimbangan hubungan dengan Tuhan dan alam, diwujudkan melalui ritual rasa syukur yang dilaksanakan setiap tahunnya melalui Upacara Adat Labuhan di Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis yang digelar oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baca Juga: Mensos Pastikan Efisiensi Anggaran Tidak Pengaruhi Dana Bansos
"Upacara ini merupakan rangkaian peringatan Tingalan Dalem Jumenengan atau bertahtanya Sri Sultan Hamengkubuwana X sebagai Raja Kraton Yogyakarta," tandas Dian.