MENJADI mahasiswa di luar negeri bukan hal yang mudah. Selain perbedaan bahasa dan budaya, Danisworo muda dituntut untuk berhemat.
Untuk mengobati rasa kangen terhadap keluarga dan Indonesia, Danisworo muda sering main ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk bertemu teman-teman atau sekadar makan gratis.â€Lumayan untuk perbaikan gizi,†candanya.
Buah dari ketekunan membuatnya ditawari untuk bekerja di UNESCO namun beliau tolak. Alasannya ternyata sederhana. “Saya berangkat sebagai dosen maka harus pulang sebagai dosen,†ujarnya tersenyum.
Menjadi dosen telah menjadi panggilan hidupnya. Sebab makin banyak beliau memberi maka makin kaya. Seperti prinsip Mahatma Gandhi yaitu kebahagiaan terletak bukan pada apa yang diterima tapi pada apa yang diberi.
“Semakin saya banyak mengajar semakin saya hafal. Jika sudah hafal maka makin menguasai sehingga mudah untuk menambah materi dan saya jadi belajar lagi sebab kalau itu-itu saja jadi bosan. Belajar tidak ada endingya,†kekehnya.
Baca Juga : Kisah Profesor Danisworo Keliling Dunia Karena Geologi (1)
Hal lain yang meresahkan beliau adalah terbatasnya akses bagi peneliti untuk mengembangkan pengetahuannya. Fasilitas laboratorium masih sangat terbatas dan tentunya masalah dana yang sering menghambat para peneliti.
Beliau bercerita bahwa terkadang harus mengirim sampel ke laboratorium lain untuk diteliti, tapi saran beliau jangan sampai mengirim sampel keluar negeri karena risiko hilang atau rusak yang sangat tinggi. Permasalahan dana juga sangat menghambat, namun makin kesini, pemerintah semakin peduli pada penelitian.