Maria Stephanie dan Pangan Lokal

Photo Author
- Senin, 1 Juni 2020 | 14:11 WIB
Maria Stephanie (Dok.Maria Stephanie)
Maria Stephanie (Dok.Maria Stephanie)

MARIA Stephanie awalnya tidak menekuni secara khusus pangan lokal. Ia lebih tertarik pada kuliner sehat yang berkiblat ke barat. Keikutsertaannya pada sebuah konferensi pemuda internasional tentang tempe membuat perempuan kelahiran Pekanbaru 3 Januari 1989 ini meluaskan cara pandanganya. Kini bukan hanya jatuh cinta pada ragam pangan lokal, ia juga mengembangkan usaha kuliner sehat bersama kawannya.

Menurut Steffi, sebelum berkenalan dengan pangan lokal ia memang lebih tahu tentang pangan sehat yang mengacu ke barat. Hal itu berangkat dari pengalaman hidupnya. Ia datang ke Yogyakarta di usia 14 tahun setelah sebelumnya tinggal di Riau. Selepas SMA ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Teknik Kimia Universitas Nottingham (kampus Malaysia) serta satu tahun di Universitas Nottingham di Inggris. Otomatis cara pandangnya lebih banyak ke makanan sehat barat.

Alasan Tekuni Pangan Lokal

Saat menempuh studi di Malaysia itulah ia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pertukaran mahasiswa ke Inggris selama satu tahun. Di negara tersebut ia dengan mudah mendapatkan makanan sehat seperti salad dan sandwich.

"Ada dua alasan terkuat kenapa kemudian saya menekuni pangan lokal. Pertama, keragaman pangan di Indonesia sangat tinggi. Kedua, kalau gak kenal pangan lokal, kapan petani Indonesia bisa sejahtera, mosok makanan sehat kudu impor mulu," kata lulusan SMA Bopkri 2 Yogyakarta ini.

Soal pangan sehat, Steffi sangat kritis. Misalnya, saat ia melihat adanya poster berjudul Sistem Kekebalan Tubuh dan Covid-19 di media sosial yang berisi panduan gizi seimbang dari sebuah rumah sakit di Jakarta. Ia menyoroti daftar menu makanan yang menurutnya sangat absurd untuk dipraktikan masyarakat kebanyakan.

Ada menu makanan yang dalam sehari jenisnya beragam, bahkan mencapai 6 menu berbeda. Selain itu dalam contoh makanan 'boosting' kekebalan tubuh disebutkan contoh bahan-bahan makanan yang sulit dijangkau masyarakat kebanyakan, misal buah aprikot dan ikan salmon.

"Mungkin ada orang yang punya biaya, waktu dalam sehari menu bisa sangat beragam seperti itu, tapi mayoritas punya kendala waktu, sumber daya uang dan bahan-bahan, menurut saya itu tidak realistis," ujarnya.

Usai menyelesaikan gelar sarjananya, Steffi kembali ke Yogyakarta. Perjumpaannya dengan orang-orang yang bergelut di pangan organik, memperkaya cara pandangnya terhadap pangan lokal.

Ia lebih tertarik lagi pada pangan lokal saat mengikuti International Youth Conference on Tempe (IYCoT) atau konferensi pemuda internasional tentang tempe di Yogyakarta tahun 2015. Ia makin mengerti potensi makanan sehat berbasis pangan lokal.




-

Steffi menjadi pemenang lomba poster ilmiah tentang pangan tahun 2019 

"Jadi tempe itu adalah inovasi pangan asli dari Indonesia. Tempe yang sehari-hari kita makan, yang harganya murah meriah ternyata menyimpan segudang manfaat kesehatan. Itu baru aku tahu. Bahkan, orang di luar negeri banyak yang mengenalnya," ujar Steffi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

Maria Stephanie dan Pangan Lokal

Senin, 1 Juni 2020 | 14:11 WIB

Warga Jogonalan Ciptakan Motor dan Sepeda dari Kayu

Sabtu, 23 Februari 2019 | 00:15 WIB

Aika Ingin Jadi Pendongeng dan Pendiri Cagar Alam

Sabtu, 22 Desember 2018 | 13:15 WIB

Perjuangan Relawan UGM Pulihkan Senyum Warga Lombok

Sabtu, 27 Oktober 2018 | 01:10 WIB

Irul, Majukan Dusun dengan Jualan 'Online'

Kamis, 11 Oktober 2018 | 19:30 WIB
X