Krjogja.com - PEMANGKASAN anggaran pada APBD DIY 2025 menjadi perhatian DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belakangan ini. Perhatian tersebut wujud penyesuaian dari program pemerintah pusat. Kemudian, baru saja DPRD DIY melakukan pembahasan terhadap perubahan APBD DIY 2025 dengan melakukan penyesuaian, yang pada akhirnya berdampak berkurangnya sejumlah program sebelumnya yang dibiayai APBD.
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto, ST MSi menilai bahwa kondisi ini harus dijawab bukan dengan keluhan, tetapi dengan kerja nyata yang kreatif dan kolaboratif. Termasuk diantaranya berkreasi agar program yang dipangkas, termasuk diantaranya terkait kesejahteraan rakyat, tetap bisa berjalan.
Eko Suwanto menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah harus lebih berani menggali potensi pembiayaan alternatif di luar APBD. “Kita tidak bisa terus-terusan menggantungkan nasib pembangunan DIY dari dana pusat. Ketika anggaran dipotong, kita harus sigap mencari solusi. Di sinilah pentingnya kreativitas dan kemandirian fiskal,” ujarnya dalam Podcast di Kedaulatan Rakyat TV bersama host Redaktur Pelaksana SKH Kedaulatan Rakyat dan Krjogja.com, Primaswolo Sudjono, Sabtu (19/7).
Baca Juga: Eko Suwanto: Pancasila Harus Dihayati dalam Pembangunan, Ganjar Pranowo Hadiri Seminar di UGM
Menurut Eko Suwanto, dampak pemotongan anggaran sangat terasa dalam program-program pelayanan publik yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Karena itu, ia mendorong agar Pemda menggandeng pihak swasta, BUMN, Baznas, hingga organisasi masyarakat sipil untuk bergotong-royong menjaga keberlangsungan program-program sosial.
Eko Suwanto mengingatkan bahwa dalam konstitusi UUD 1945, disebutkan dengan jelas bahwa negara memiliki kewajiban memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak warga DIY yang hidup di bawah garis kemiskinan. “Bantuan kepada lansia memang ada, tetapi tidak cukup. Kita butuh kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berbasis data yang valid,” kata Anggota dari Fraksi PDI Perjuangan.
Untuk itu, ia menyarankan agar Bappeda DIY menyusun ‘big data mikro’ melalui sensus atau cacah jiwa. Data tersebut harus bisa memetakan kebutuhan warga dengan akurat dan diperbarui secara berkala.
“Tanpa data yang kuat, kita akan sulit merumuskan program yang efektif. Ini pekerjaan rumah besar yang tidak boleh ditunda,” tegasnya.
Lebih lanjut, Eko menekankan pentingnya tetap berpegang pada nilai-nilai Pancasila menghadapi persoalan pemotongan anggaran pembangunan daerah. Bagi Eko, Pancasila bukan hanya norma ideologis, tetapi harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan, terutama dalam situasi sulit.
“Setiap rupiah dari APBD maupun APBN harus berkontribusi dalam membuka lapangan kerja, menyejahterakan rakyat, dan memperkuat persatuan sosial. Itulah esensi Pancasila dalam pemerintahan,” ujar alumnus Magister Ekonomi Pembangunan (MEP) UGM.
Ia menyoroti perlunya keteladanan pemimpin dalam mewujudkan semangat Pancasila tersebut. Dalam konteks ini, Eko mencontohkan Walikota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, yang mengalihkan anggaran pembelian mobil dinas menjadi pengadaan gerobak sampah dan program layanan kesehatan gratis.“Itu bentuk keberpihakan. Pemimpin harus memberi contoh nyata, bukan hanya bicara,” kata Ketua DPRD DIY.
Baca Juga: Kenapa Eko Suwanto Ngotot Desak Pemda DIY Lebih Serius Urus Sinau Pancasila? Ini Alasannya
Contoh lain praktik Pancasila menurut Eko adalah program bedah rumah yang dilakukan tanpa APBD, melainkan melalui kolaborasi CSR dan Baznas. “Seminar Kebangsaan yang kami adakan (DPC PDI Perjuangan Kota Yogyakarta-red), di UC UGM juga menunjukkan bahwa pentinnya sinergi antara kampus, pemerintah, dan masyarakat bisa berjalan baik,” jelasnya. Dalam seminar itu hadir tokoh nasional seperti Ganjar Pranowo dan Hasto Wardoyo.