'Teladan' dari Kota Pelajar: Tanoto Foundation Mengasah 'Soft Skills' Mahasiswa Jogja ditengah Fenomena Banyak Sarjana Menganggur

Photo Author
- Minggu, 23 November 2025 | 20:57 WIB
Ilustrasi diskusi mahasiswa. (Foto dibuat dengan teknologi AI)
Ilustrasi diskusi mahasiswa. (Foto dibuat dengan teknologi AI)

“Yang membedakan, menurut saya, bukan hanya kompetensi teknis yang kami dapat, tapi juga daya tahan mental dan jaringan. Itu membuat lebih siap menghadapi dunia kerja yang persaingannya ketat,” ujarnya.

Peran Filantropi: Dari Beasiswa ke Kebijakan

Di atas kertas, TELADAN diperkenalkan Tanoto Foundation sebagai program pengembangan kepemimpinan untuk mahasiswa S1 di perguruan tinggi mitra. Dukungan biaya kuliah dan hidup berjalan beriringan dengan kurikulum kepemimpinan yang dirancang berjenjang, mulai dari mengenali diri hingga memimpin orang lain, dan diakhiri dengan persiapan profesional.

Namun, di balik program untuk individu seperti Iqbal, ada upaya yang bergerak di level sistem. Head of Leadership Development and Scholarship Tanoto Foundation, Yosea Kurnianto, menyebut lembaganya ingin mendorong cara pandang baru di pendidikan tinggi.

“Sebagai lembaga filantropi, kami bukan hanya ingin mendampingi penerima beasiswa, tapi juga mendorong ekosistem pendidikan tinggi agar lebih serius memperhatikan pengembangan nontechnical skills,” ujarnya kepada KR secara virtual, Rabu (12/11).

Menurut Yosea, dalam satu-dua tahun terakhir Tanoto Foundation terlibat dalam berbagai forum perumusan kebijakan. Penguatan soft skills, kata dia, kini sudah tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional untuk dua dekade ke depan, sementara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah mulai dibahas model pengembangannya secara lebih terstruktur.

Di tingkat kampus, Tanoto Foundation mendampingi perguruan tinggi mitra untuk merancang kurikulum kemahasiswaan yang secara sengaja memuat penguatan soft skills. Bersama Bappenas dan mitra dari Australia, lembaga ini juga memetakan jenis keterampilan nonteknis yang dibutuhkan angkatan kerja Indonesia dan strategi pengembangannya.

“Tahun ini bersama sepuluh kampus mitra kami membentuk task force agar pengembangan soft skill di perguruan tinggi didesain lebih terstruktur dan intensional. Kami juga sedang berproses, dengan dukungan kementerian terkait dan Bappenas, untuk menyusun semacam panduan nasional pengembangan soft skill di pendidikan tinggi,” tutur Yosea.

Kegagalan Sistemik dan Contoh Baik

Dr. Isniatun Munawaroh, M.Pd, MCE, pakar kurikulum dari Departemen Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, melihat kesenjangan soft skills lulusan sebagai gejala kegagalan sistem, bukan hanya kelemahan individu.

“Perguruan tinggi terlalu puas hanya mengukur apa yang mahasiswa ketahui, bukan bagaimana mereka bersikap dan bertindak. Padahal dunia kerja menuntut komunikasi, kolaborasi, dan adaptasi,” ujarnya. Menurut dia, persoalan utamanya bukan saja pada bagaimana soft skills diajarkan, tapi bagaimana ia dinilai.

Sebagai pakar kurikulum berbasis Outcome-Based Education (OBE), Isniatun menilai solusi harus dimulai dari peta kurikulum yang jelas dan asesmen yang sejalan. Setiap capaian soft skills, seperti berpikir kritis atau etika profesional, perlu dipetakan lintas mata kuliah: mana yang memperkenalkan, mana yang melatih, dan mana yang menuntut penguasaan. “Soft skills harus menjadi bagian dari DNA setiap mata kuliah, bukan ditempatkan di satu mata kuliah pelengkap,” katanya kepada KR, Jumat (21/11).

Ia juga menekankan pentingnya asesmen otentik. Bila kolaborasi dianggap penting, tugas akhir tidak bisa hanya berhenti pada ujian tertulis individual. “Proyek tim nyata dengan rubrik penilaian yang menilai cara berkomunikasi dan bekerja sama jauh lebih jujur menggambarkan kemampuan mahasiswa. Apa yang diukur, itulah yang mereka pedulikan,” ujarnya.

Dalam kerangka itu, Isniatun melihat Program TELADAN sebagai contoh menarik. Menurut dia, TELADAN mengelola pengembangan soft skills dan kepemimpinan secara bertahap dan terukur selama beberapa tahun, sesuatu yang sejalan dengan prinsip OBE.

“TELADAN tidak hanya memberikan uang saku, tetapi menjadikan pengembangan kompetensi kepemimpinan dan karakter sebagai hasil utama selama masa studi. Pendekatan berbasis pengalaman dan proyek membuat peserta bukan sekadar tahu konsep kepemimpinan, tetapi berlatih mempraktikkannya,” katanya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Agusigit

Tags

Rekomendasi

Terkini

X