yogyakarta

80 Tahun Merdeka, Eko Suwanto : Perjuangan Belum Selesai, Jangan Bebani Rakyat

Selasa, 19 Agustus 2025 | 08:46 WIB
Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto

Krjogja.com - BULAN  Agustus selalu menghadirkan nuansa merah putih di mana-mana. Jalanan penuh bendera, gapura dihias ornamen kemerdekaan, dan warga bahu-membahu menyelenggarakan lomba hingga pentas seni. Suasananya meriah, seolah mengingatkan bahwa Indonesia pernah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Tahun ini genap 80 tahun Indonesia merdeka.

Tapi Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto, punya catatan penting: perjuangan belum selesai – terutama jika rakyat masih dibebani berbagai pajak dan retribusi tanpa solusi nyata terhadap kemiskinan, pengangguran, pendidikan, maupun kesehatan.

“Kalau kita melihat masyarakat di bulan Agustus, mereka justru menunjukkan keteladanan. Merayakan 17-an secara mandiri, gotong royong, tanpa dana APBD. Bahkan ada RT yang menggelar upacara sendiri," ujar Eko dalam podcast Kedaulatan Rakyat TV. Kalimatnya mengandung rasa bangga sekaligus sindiran halus bagi pemerintah, agar tak lupa: kemerdekaan bukan sekadar acara, tapi janji kepada rakyat.

Baca Juga: Dukung Masyarakat Tangguh, Eko Suwanto Serahkan Alat Penanggulangan Bencana

Eko menyebut, setiap tahun masyarakat menunjukkan bagaimana kemerdekaan itu dimaknai dengan kerja kolektif. Donatur acara 17-an datang dari warga sendiri. Itu bukti kuat bahwa semangat gotong royong masih hidup lebih nyata di bawah, jauh sebelum program-program pemerintah mendukungnya.

Di sisi lain, fakta di lapangan tetap memprihatinkan. “Pengangguran masih tinggi. Kemiskinan juga masih besar, belum semua warga bisa akses pendidikan dan kesehatan,” tegasnya. Pertanyaan kritis muncul: Sudahkah kita benar-benar merdeka? Sebab kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajah asing, tapi juga bebas dari ketertindasan modern: beban ekonomi, mahalnya listrik, biaya sekolah, BPJS menunggak, lapangan kerja sulit.

Baca Juga: Komisi A Terima Aduan Rekening Diblokir, Eko Suwanto Minta PPATK Kembali ke Jalan yang Benar

Maka Eko mengingatkan pemerintah – baik pusat maupun daerah – agar kembali pada cita-cita konstitusi. Amanat Pembukaan UUD 1945 jelas: mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. “Jangan sampai masyarakat hanya dianggap wajib bayar pajak. Sudah bayar, tapi tidak dapat akses yang layak. Negara punya tanggung jawab menghadirkan pendidikan, kesehatan, bahkan rumah yang layak,” katanya dengan nada tegas.

Jangan Bebani Pajak Bertubi-tubi
Di tengah momen kemerdekaan, kabar soal kenaikan pajak justru menjadi ‘hadiah’ pahit bagi masyarakat. Eko menyebut ini ironi. “Jangan terus dibebankan ke masyarakat. Pajak kendaraan naik, PBB naik, retribusi macam-macam. Itu harus dipikir ulang, kecuali sistemnya bertingkat," Eko Suwanto yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Yogyakarta.

Ia memberi contoh bahwa rakyat miskin yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) semestinya bebas pajak, atau setidaknya diberi keringanan. Jangan sampai yang pendapatannya pas-pasan justru diperas oleh kebijakan fiskal.

Baca Juga: Akibat Pemotongan Anggaran yang Merugikan, Eko Suwanto Dorong Pemda Optimalkan CSR Dukung Kebijakan Atasi Pengangguran & Kemiskinan

“Kalau semua serba dinaikkan, untuk apa kita merayakan kemerdekaan? Rakyat harus merasakan kehadiran negara, bukan beban.”

Menurutnya, kebijakan pemotongan anggaran dan kenaikan pajak bisa berdampak jangka panjang. Apalagi jika pembangunan tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Eko meminta pemerintah pusat dan daerah mendengarkan aspirasi ini: kedepankan kebijakan yang pro-rakyat, bukan pro-angka semata.

Pendidikan Kebangsaan
Selain soal ekonomi, Eko juga menyoroti pentingnya pendidikan sejarah bagi generasi muda. Ia mengusulkan agar Pemda DIY segera memiliki ruang publik atau museum pendidikan sejarah yang menarik dan interaktif. “DIY ini tujuan pendidikan nasional dan internasional. Banyak pelajar dari luar negeri datang. Harusnya kita punya pusat belajar sejarah yang layak,” katanya.

Ia prihatin dengan narasi di media sosial yang menyebut remaja sekarang tidak paham sejarah. Menurutnya hal itu tak sepenuhnya salah atau benar. Yang perlu dibenahi terlebih dahulu adalah materi ajarnya. “Yang penting isi buku sejarahnya benar. Dahulu ada mata pelajaran PSPB. Saya kira sejarah justru harus jadi mata pelajaran wajib, di SD, SMP, hingga SMK,” ujar politikus muda PDI Perjuangan ini.

Halaman:

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB