Pancasilaholic

Photo Author
- Senin, 25 Juni 2018 | 09:57 WIB

PANCASILAHOLIC. Secara bahasa, penulis tidak sedang membuat istilah baru atas diskursus ke-Pancasila-an yang akhir-akhir ini (kembali) menguat di ruang publik. Akan tetapi, penulis merasa perlu mengapresiasi para pegiat, pejuang, atau apapun istilahnya bagi mereka yang mendedikasikan pikiran, waktu, dan tenaganya demi Pancasila. Tidak bisa dipungkiri, realitas sosial tersebut menjadi keniscayaan dalam perspektif penguatan ideologi di tengah-tengah gempuran gagasan de-ideologisasi Pancasila.

Narasi ideologis atas Pancasila pada akhirnya perlu diakarkan kembali dengan mengedepankan literasi pada aspek substansinya dan tidak terjebak pada framing simbolis ansich. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian mencuat istilah radikalisasi Pancasila dalam alam pikiran yang positif. Pada titik ini, para Pancasilaholic, atau dalam pemahaman yang lebih sederhana para pegiat, penjaga, pejuang, dan penguri-uri Pancasila mampu mengejawantahkan kelima sila dalam Pancasila dalam suatu nalar berpikir dan tindak tanduk yang humanis. Dalam artian Pancasila benar-benar hadir sebagai jawaban atas segenap persoalan, utamanya menyangkut keadilan sosial.

Yogyakarta sebagai salah satu penjaga kebhinnekaan sampai saat ini masih dipandang sebagai salah satu kiblat pembudayaan Pancasila. Bukan saja dikarenakan hadirnya Universitas Gadjah Mada sebagai kampus kerakyatan (Pancasila). Akan tetapi juga nilai kePancasila-an yang sudah cukup mendarah daging di entitas sosial masyarakat Yogya. Satu hal yang menjadi bukti yakni adanya agenda ‘Resepsi Wong Cilikí’ yang diadakan oleh Samawi Institute untuk memperingati 73 tahun lahirnya Pancasila. Sebelumnya tepat pada tanggal 1 Juni Sekretariat Keistimewaan DIY bersama para pegiat Pancasila menggelar hajat dengan mengadakan konser kebangsaan bertajuk #PancasilaRumahKita.

Keberadaan para Pancasilaholic ini merupakan keniscayaan dalam wacana kebangsaan kita. Sudah sepatutnya keberadaan aktor Pancasilais ini terus direproduksi, tidak hanya pada aspek kuantitasnya, namun yang lebih penting adalah aspek kualitasnya. Tidak bisa dipungkiri, ketika berbicara mengenai Pancasila tidak sedikit di antara kita yang terjebak pada kerangka simbolik. Sehingga dalam praktiknya terlihat hanya akan mempolitisasi Pancasila demi kepentingan kelompoknya. Agenda ‘Resepsi Wong Cilik’yang dipelopori oleh Samawi Institute diharapkan mampu mengajak publik untuk memahami lebih dalam mengenai Pancasila sebagai konsensus bersama dan bukan sebagai alat politik.

Disinilah kesadaran publik untuk menjadikan Pancasila sebagai kebenaran yang hidup menjadi penting. Terlebih lagi jika kita memahami bahwa Pancasila merupakan konsensus bersama dimana gagasan besar untuk membangun narasi peradaban bangsa dideskripsikan dengan indikator tercapainya tujuan bernegara yakni: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Bagi mereka yang mendaku dirinya sebagai Pancasilaholic sudah tentu akan merasakan beban mental yang tidak ringan. Akan terngiang-ngiang dengan pesan seorang Soekarno yang mengatakan bahwa banyak orang yang mengakungaku paling Pancasilais namun perilakunya jauh dari Pancasila itu sendiri. Semoga para pegiat, pejuang, penjaga dan penguri-uri Pancasila yang lahir dari rahim kampus kerakyatan maupun kultur masyarakat Jawa mampu menjaga diri dari fitnah tersebut.

Dari Yogyakarta telah dimulai berbagai proyek ideologis, untuk menjadikan seluruh elemen masyarakat sebagai pribadi-pribadi yang Pancasilais atau Pancasilaholic. Tanpa kemudian merasa paling Pancasilais, karena karakter tersebut dapat terlihat dari cara berpikir, berbicara, dan berperilaku. Orang Jawa sangat mengenal betul istilah ajining raga saka busana, ajining dhiri saka lathi yang dapat dimaknai kepribadian seseorang sangat ditentukan dari bagaimana seseorang tersebut berbicara. Disinilah secara kultural masyarakat Jawa adalah pribadi-pribadi yang harusnya menjaga lisannya.

Pemahaman inilah yang harusnya menjadi pijakan atas pengamalan Pancasila. Karena Pancasila bukanlah simbol akan tetapi nilai yang perlu dihidupkan dalam pengejawantahannya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Mudik Virtual

Jumat, 22 Mei 2020 | 11:56 WIB

Pasar Rakyat

Senin, 18 Mei 2020 | 01:52 WIB

Digitalisasi Buku

Sabtu, 16 Mei 2020 | 05:12 WIB

Akhir Pandemi

Jumat, 15 Mei 2020 | 04:44 WIB

Kerja Sama

Kamis, 14 Mei 2020 | 08:24 WIB

BST dan Pandemi

Rabu, 13 Mei 2020 | 02:30 WIB

Era New Normal

Selasa, 12 Mei 2020 | 09:56 WIB

Daya Tahan PTS

Senin, 11 Mei 2020 | 08:20 WIB

Pandeminomics

Sabtu, 9 Mei 2020 | 09:41 WIB

Ruang Sosial

Jumat, 8 Mei 2020 | 07:28 WIB

Didi Adalah Kita

Rabu, 6 Mei 2020 | 06:00 WIB

Kembalinya Pendidikan Keluarga

Selasa, 5 Mei 2020 | 07:24 WIB

Disrupsi Pangan

Senin, 4 Mei 2020 | 05:24 WIB

Belajar dari Covid-19

Sabtu, 2 Mei 2020 | 09:25 WIB

Menyelamatkan UMKM

Kamis, 30 April 2020 | 02:12 WIB

'Virus Sosial'

Rabu, 29 April 2020 | 08:00 WIB

Kampung Istimewa

Selasa, 28 April 2020 | 01:27 WIB

Sanksi PSBB

Senin, 27 April 2020 | 06:45 WIB

'Password Stuffing'

Sabtu, 25 April 2020 | 11:07 WIB

THR Bagi PNS

Jumat, 24 April 2020 | 05:47 WIB
X