Soccernomics

Photo Author
- Rabu, 20 Juni 2018 | 10:19 WIB

TURNAMEN atau perhelatan akbar sepakbola Piala Dunia 2018 (World Cup 2018) sudah dimulai sejak Kamis, 14 Juni 2018. Perhelatan tersebut diikuti oleh tim dari 32 negara.Turnamen digelar di 12 stadion yang tersebar di 11 kota. Sepuluh dari 12 stadion merupakan venue baru yang dibangun dalam lima tahun terakhir. Dua stadion sisanya merupakan stadion lama yang telah direnovasi.

Sampai dengan 15 Juli 2018, masyarakat dapat menyaksikan seluruh pertandingan secara langsung (live) melalui layar kaca. Stasiun televisi nasional, TransTV dan Trans7, menjadi pemegang hak siar (licensed broadcaster television) seluruh pertandingan yaitu sebanyak 64 laga. Tulisan ini menyoroti dampak ekonomi (economic impact) dari perhelatan Piala Dunia 2018. Penulis mendeskripsikan dampak ekonomi perhelatan tersebut terhadap perekonomian Russia dan Indonesia. Dampak ekonomi turnamen akbar penulis sebut dengan soccernomics.

Russia sebagai tuan rumah tentu menerima konsekuensi ekonomi dari turnamen tersebut. Mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Persiapan dimulai dengan menyiapkan organisasi dan manajemen, serta pembangunan infrastruktur fisik khususnya stadion. Penyediaan infrastruktur fisik tidak hanya stadion saja namun juga infrastruktur pendukung yang lain seperti misalnya transportasi (jalan tol, bandara, dam kereta api) dan akomodasi (markas tim dan hotel).

Berdasarkan data yang terpublikasi di media, biaya untuk pembangunan infrastruktur termaksud diperkirakan mencapai Rp 165,2 triliun. Khusus untuk membangun 10 stadion dan merenovasi 2 stadion, Russia menghabiskan biaya sebesar sekitar Rp 45,65 triliun. Perkiraan total biaya untuk menggelar turnamen tersebut sebesar Rp 182,6 triliun. Russia memperoleh dampak atau efek ekonomi yaitu tambahan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp 361 triliun dalam jangka pendek. Dalam periode 2013-2023, efek turnamen diperkirakan dapat menambah PDB Russia sekitar Rp 428 triliun.

Besaran tambahan PDB tersebut karena adanya efek pengeluaran membangun stadion serta infrastruktur pendukungnya, akumulasi dari pengeluaran pemerintah yang lain dan aktivitas sektor pariwisata (termasuk telekomunikasi, transportasi, hotel dan restoran) selama pelaksanaan dan pascapelaksanaan turnamen akbar tersebut. Telah terjadi proses efek pengganda (multiplier effect) yang dipicu turnamen tersebut. Sebagai tuan rumah, Russia juga akan memperoleh keuntungan atau manfaat dari industri media dan periklanan serta penyerapan tenaga kerja pada saat pembangunan infrastuktur.

Dampak atau efek penyelenggaraan Piala Dunia terhadap perekonomian selama ini masih menjadi topik diskusi yang menarik yang dibicarakan. Pihak yang pro meyakini bahwa perhelatan tersebut mampu menjadi motor penggerak ekonomi baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, khususnya bagi negara penyelenggara. Di sisi lain, pihak yang kontra menyatakan efek ekonomi yang ditimbulkan dari perhelatan Piala Dunia lebih ke dalam jangka pendek atau temporer. Argumentasi yang mendukung karena turnamen sepakbola tersebut hanya berlangsung satu bulan.

Terlepas dampak jangka pendek maupun jangka panjang, turnamen Piala Dunia mampu menjadi motor penggerak ekonomi dan berdampak positif terhadap perekonomian khususnya negara tuan rumah. Kajian terhadap penyelenggaraan di Brazil (2014) dan Afrika Selatan (2010) memperoleh kesimpulan bahwa turnamen Piala Dunia mampu menjadi motor penggerak perekonomian tuan rumah, meskipun sedikit terjadi dorongan inflasi karena meningkatnya jumlah uang beredar (cost push inflation).

Bagaimana dampak penyelenggaraan Piala Dunia 2018 terhadap perekonomian Indonesia? Dampak secara ekonomi tetap diperoleh Indonesia, khususnya dampak tidak langsung. Adanya siaran langsung televisi mendorong belanja iklan dari beberapa perusahaan sponsor acara siaran langsung. Stasiun televisi pemegang hak siar tentu memperoleh tambahan pendapatan yang pada akhirnya menjadi tambahan keuntungan. Acara nonton bareng (nobar) yang berlisensi maupun non-lisensi juga marak diselenggarakan. Nobar berlisensi diselenggarakan di beberapa tempat nongkrong seperti hotel dan kafe, sedangkan nonlisensi pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat. Pendapatan dari hotel dan kafe penyelenggara nobar tentu akan meningkat. Konsumsi masyarakat terhadap minuman, makanan kecil, dan rokok sebagai “teman” nobar sedikit banyak juga meningkat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Mudik Virtual

Jumat, 22 Mei 2020 | 11:56 WIB

Pasar Rakyat

Senin, 18 Mei 2020 | 01:52 WIB

Digitalisasi Buku

Sabtu, 16 Mei 2020 | 05:12 WIB

Akhir Pandemi

Jumat, 15 Mei 2020 | 04:44 WIB

Kerja Sama

Kamis, 14 Mei 2020 | 08:24 WIB

BST dan Pandemi

Rabu, 13 Mei 2020 | 02:30 WIB

Era New Normal

Selasa, 12 Mei 2020 | 09:56 WIB

Daya Tahan PTS

Senin, 11 Mei 2020 | 08:20 WIB

Pandeminomics

Sabtu, 9 Mei 2020 | 09:41 WIB

Ruang Sosial

Jumat, 8 Mei 2020 | 07:28 WIB

Didi Adalah Kita

Rabu, 6 Mei 2020 | 06:00 WIB

Kembalinya Pendidikan Keluarga

Selasa, 5 Mei 2020 | 07:24 WIB

Disrupsi Pangan

Senin, 4 Mei 2020 | 05:24 WIB

Belajar dari Covid-19

Sabtu, 2 Mei 2020 | 09:25 WIB

Menyelamatkan UMKM

Kamis, 30 April 2020 | 02:12 WIB

'Virus Sosial'

Rabu, 29 April 2020 | 08:00 WIB

Kampung Istimewa

Selasa, 28 April 2020 | 01:27 WIB

Sanksi PSBB

Senin, 27 April 2020 | 06:45 WIB

'Password Stuffing'

Sabtu, 25 April 2020 | 11:07 WIB

THR Bagi PNS

Jumat, 24 April 2020 | 05:47 WIB
X