BUKU adalah teman orang berilmu serta teman orang-orang yang menginginkan kehebatan dalam hidupnya. Kalimat Albert Einstein ini tampaknya pas kita kenang kembali saat kita merayakan hari buku, 17 Mei. Dan berbicara tentang buku tentu berbicara tentang minat baca dan perpustakaan. Di era global sekarang ini, minat baca masih menjadi persoalan besar bangsa kita. Demikian halnya dengan perpustakaan.
Penyair Taufiq Ismail pernah menyindir kita, bangsa Indonesia, sebagai ìbangsa yang rabun membacaî. Sindiran itu ia sampaikan pada saat ia menerima anugerah Doktor Honoris Causa (Dr HC) bidang pendidikan sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), 2003 silam. Sindiran yang pas. Buktinya? Berdasarkan hasil kajian Most Littered Nation in the World 2016, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara.
Data lainnya, hasil penelitian Perpustakaan Nasional RI Tahun 2017 menunjukkan, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Adapun jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Siapa pun Anda boleh berdebat tentang angka-angka itu. Tapi, di balik angka-angka itu, terselip pesan yang getir: minat baca orang Indonesia masih (tetap) rendah.
Pesan getir itu tak lantas membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia surut langkah. Alih-alih mundur, justru Kemdikbud menjawabnya melalui : Gerakan Literasi Nasional (GLN). Gaung GLN terasa kuat sekali hingga ke seluruh penjuru Nusantara. Bahkan, Kemdikbud melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), segera mempersiapkan peta literasi nasional.
Melalui peta itu, Kemdikbud dapat menyisir daerah mana yang tergolong minus literasi dan surplus literasi. Para kepala daerah seyogyanya tak perlu malu jika daerahnya tergolong minus literasi. Kepala daerah justru dapat merasa tertantang bahwa dirinya mampu meningkatkan daya literasi masyarakat daerahnya. Sebaliknya, para kepala daerah yang daerahnya surplus literasi tak perlu jumawa. Ia dapat mendorong atmosfer literasi masyarakatnya.
Masyarakat yang memiliki daya literasi tinggi, kelak dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan hidupnya. Sebagai contoh, perajin gerabah di Desa Wisata Kasongan, Bantul, dapat mempromosikan produk gerabahnya melalui Instagram, Facebook, dan lainlain berkat literasi digital. Demikian halnya pengelola desa-desa wisata di Yogyakarta.
Lain masyarakat umum, lain pula masyarakat pendidikan. Di jenjang SD, SMP, dan SMA atau sederajat, GLN terasa sekali. Di tiap-tiap kelas tersedia Pojok Literasi Kelas. Para siswa dapat saling meminjam buku yang disukainya. Bahkan, MAN 2 Kulonprogo meneguhkan diri berfokus ke arah pengembangan literasi guru dan siswa. Para guru dan siswanya berhasil menerbitkan buku. Ini prestasi yang layak diapresiasi bukan?
Jika para guru dan siswa sudah senang membaca dan menulis, kelak daya literasi masyarakat Indonesia dapat meningkat. Penerbit buku akan tumbuh seiring dengan hal itu. Secara otomatis, kesejahteraan para penulis buku yang ditunjukkan melalui royalti buku sebesar 10%, dapat bertambah menjadi 20% atau 30%. Bukan apa-apa, selama ini, royalti buku bagi penulis di Indonesia terbilang kecil. Alhasil, tak banyak orang yang berminat menjadi penulis buku.