TRAGEDI ‘tiang listrik’ masih menyisakan cerita. Peristiwa yang mengakhiri pelarian Ketua DPR saat itu, ternyata menarik perhatian penegak hukum untuk mengusutnya. Kali ini berkaitan dengan tuduhan menghalang-halangi upaya penegakan hukum antikorupsi. KPK pun telah menetapkan tersangka. Di antaranya ada mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, dan dokter RS Medika Permata Hijau. Selain itu, masih ada pihak-pihak lain yang dibidik KPK. Mereka diduga terlibat dalam upaya menghalangi pemberantasan korupsi.
Pasal yang dituduhkan bagi mereka adalah ketentuan Pasal 21 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut berkaitan dengan tindak pidana yang berhubungan dengan korupsi. Pasal itu mengatur bahwa : setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Yang dimaksud dengan upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan upaya penegakan hukum anti-korupsi adalah melakukan serangkaian tindakan/perbuatan dengan tujuan agar penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terhadap perkara korupsi yang sedang berlangsung, terhalang atau terhambat untuk dilaksanakan.
Ketentuan tersebut secara internasional telah disepakati dalam Konvensi PBB tentang Anti-Korupsi. Tindakan menghalang-halangi upaya penegakan hukum itu dikenal dengan istilah obstruction of justice. Secara sederhana diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang mengintervensi (menghambat) proses penegakan hukum. Hambatan itu bisa dalam bentuk apa saja dan dilakukan oleh berbagai pihak. Bentuk tindakan obstruction of justice, dapat dikaitkan langsung dengan proses hukum itu sendiri. Atau dengan aparatur penegak hukum, saksi bahkan terkait dengan barang bukti.
Sebenarnya, selain ketentuan Pasal 21 ada ketentuan lainnya yang berada dalam rumpun obstruction of justice, yaitu pasal 22, 23 dan 24 UU Tipikor. Dalam kasus korupsi, pasal-pasal tersebut telah beberapa kali diterapkan. KPK dan Kejaksaan tercatat pernah menggunakan ketentuan ini. Kasus pertama yang ditangani oleh KPK dan cukup terkenal adalah perkara Anggodo Widjojo.
Bermula dari kasus ‘cicak vs buaya’, nama Anggodo menjadi terkenal karena berhasil mengatur upaya kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK saat itu, Bibit-Chandra. Kasus ini terbongkar berkat pemutaran rekaman pembicaraan antara Anggodo dan petinggi penegak hukum di sidang Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Mahfud MD. Anggodo kemudian ditetapkan menjadi tersangka menghalangi pemberantasan korupsi dan ditingkat kasasi dihukum 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Putusan MA tersebut kemudian menjadi yurisprudensi penerapan ketentuan Pasal 21 UU Tipikor.
Advokat juga tidak imun terhadap ketentuan Pasal 21 ini. Sebelum Fredrich, Manatap Ambarita adalah advokat yang pernah dijerat dengan pasal tersebut. Ia dijatuhi hukuman 3 tahun penjara oleh MA. Penyebabnya lagi-lagi karena menyembunyikan tersangka korupsi dari kejaran penegak hukum, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
Dari banyak kasus, modus menghalangi pemberantasan korupsi dilakukan dengan banyak cara. Ada yang mempengaruhi saksi dengan cara intimidasi, memberikan keterangan palsu, menghilangkan barang bukti atau menyembunyikan tersangka. Dalam kasus yang saat ini ditangani oleh KPK, Fredrich diduga melakukan modus menyembunyikan tersangka korupsi.
Upaya menghalangi pemberantasan korupsi kian berkembang dan membahayakan, sampai pada upaya merekayasa hukum untuk mengkriminalkan penegak hukum. Kasus pimpinan dan penyidik KPK yang dikriminalisasi adalah contohnya. Tidak hanya itu, serangan fisik pun dilakukan. Apa yang dialami oleh Novel Baswedan misalnya.