KITA cemas menghadapi berjalannya waktu, terutama dua tahun ke depan yang sebagian orang mengatakan tahun politik. Penamaan tahun politik dikarenakan sebagian besar menduga akan terjadi kontestasi yang keras. Karena tahun tersebut dianggap bagian dari tahapan penting proses-proses transisi dan ujian politik reformasi dan demokrasi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mempertanyakan ruang budaya apa di balik kontestasi politik tersebut. Pada masa Orde Baru, kita tidak cukup mengenal apa yang disebut sebagai tahun politik.
Pada waktu itu, proses-proses politik telah diatur sedemikian rupa sehingga hasilnya sudah dapat diduga. Orde Baru telah berhasil membangun ruang ‘budaya politik’ sehingga persaingan berjalan seperti sinetron populer yang tidak menarik. Kontestasi bersifat permukaan untuk memberi kesan demokrasi, dengan ending cerita yang sudah diketahui.
Pada masa-masa itu, masyarakat Indonesia belum cukup punya budaya demokrasi. Hal itu juga didukung rata-rata pendidikan yang belum baik, informasi dan indoktrinisasi masih bersifat linier dari atas ke bawah. Aparatur negara masih sangat digdaya dan ditakuti, wacana-wacana tandingan/alternatif dibungkam, budaya teknologi belum masif. Kondisi tersebut mengkonstruksi cara berpikir parsial. Dengan berberapa kejadian kekerasan negara, berupa penangkapan atau penghilangan warga, telah cukup menimbulkan efek panoptik. Ruang budaya yang terkondisi adalah budaya ketakutan.
Dalam budaya ketakutan, segala hal lebih mudah dikendalikan dan diatur. Di balik itu, banyak orang mencari selamat untuk dirinya masing-masing, berusaha keluar dari ketakutan. Efek dari budaya ketakutan tersebut adalah banyak pihak mengambil muka untuk menjadi agenagen negara sebagai strategi membebaskan diri dari ketakutan. Budaya ketakutan menimbulkan sikap-sikap oportunis. Politik berjalan hambar dan serba formalitas.
Kini, kondisi tersebut telah berubah, tentu tidak semua. Dalam cengkeraman masa lalu, proses demokrasi berjalan walau compang-camping. Rata-rata pendidikan tentu sedikit meningkat. Ke-digdaya-an aparatur negara sebagian besar telah dibarakkan. Walaupun terdapat aturan main politik yang cukup ketat, tetapi canggihnya teknologi android yang masif, wacana tandingan tidak lagi bisa dibungkam. Negara tidak bisa seenaknya melakukan kekerasan. Budaya ketakutan telah sangat berkurang.
Dalam kondisi tersebut, kejadian apa yang bisa kita perkirakan dengan tahun politik di depan. Telah disinggung bahwa walau telah terjadi banyak perubahan, tetapi tidak semua. Bagian yang masih akan bertahan adalah sikap-sikap bahkan karakter oportunis yang telah terbangun akibat sejarah politik masa lalu yang tidak hilang begitu saja. Masalahnya adalah bahwa karakter itu berjalan dalam ruang budaya politik yang berbeda.
Oportunistik dalam ruang budaya ketakutan memunculkan efek mencari selamat. Akan tetapi, dalam ruang budaya yang serba terbuka, akibat teknologi digital/internet, oportunisme akan sangat memalukan dan tidak memberi efek keselamatan. Namun, sebagai karakter, risiko itu akan tetap dipilih oleh sebagian masyarakat lebih sebagai satu strategi aji mumpung. Hal itu disebabkan tahun politik masih masuk dalam satu periode transisi.
Di dalam masa transisi, orang mengambil risiko untuk sukses atau gagal. Pada sesama yang mengambil keputusan aji mumpung, sangat mungkin akan terjadi benturan. Benturan akan berbahaya jika aji mumpung berhasil mengelola identitas. Karena yang terjadi adalah benturan antar-identitas. Identitas yang paling berbahaya adalah jika mengadopsi wacana atau simbol-simbol keagamaan. Orang berani mati dalam keyakinannya.