Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan upaya dalam menghadapi perubahan iklim, yakni dengan mitigasi dan adaptasi. Bahkan keduanya sudah masuk menjadi bagian dari Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia. Mitigasi sendiri adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk mencegah, menahan dan atau memperlambat efek gas rumah kaca (GRK) atau kenaikan suhu yang menyebabkan pemanasan global. Sedangkan adaptasi lebih kepada upaya yang dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan dirasakan dalam wujud bencana alam.
Aksi lokal tersebut adalah (1) pengendalian banjir, longsor atau kekeringan; (2) peningkatan ketahanan pangan; (3) penanganan kenaikan muka air laut; (4) pengendalian penyakit terkait iklim; (5) pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah; (6) pengggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi; (7) budidaya pertanian rendah emisi GRK; (8) peningkatan tutupan vegetasi (penghijauan); dan (9) pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Hampir semua aksi lokal tersebut sudah dilaksanakan Pemda DIY, seperti inisiasi Kampung Hijau di kota Yogyakarta; manajemen infrastruktur sungai M3K (Madhep, Mundur, Munggah Kali); bank sampah pada tingkat RT, RW hingga Desa; pembuatan biogas sebagai energi ramah lingkungan; penghijauan pada kawasan hulu/daerah tangkapan air; dan lainnya. Hanya saja aksi lokal tersebut masih kurang dijalankan dengan serius.
Kejadian bencana alam siklon tropis Cempaka kali ini semoga menyadarkan kita semua bahwa bencana alam hanya dapat diatasi secara bersama. Slogan Segoro Amarto (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta atau semangat gotong royong menuju kemajuan Yogyakarta) adalah modal awal untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai kota ramah lingkungan.
(Arif Sulfiantono Shut MSc Msi. Fungsional PEH TN Gunung Merapi KLHK dan Koordinator APIK Indonesai Region Pulau Jawa. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 04 Desember 2017)