Leptospirosis Pascabanjir

Photo Author
- Sabtu, 2 Desember 2017 | 23:10 WIB

BENCANA banjir pada puncak siklon tropis Cempaka di DIY dan Jawa Timur Selatan, Selasa (28/11), sangat memprihatinkan. Bahaya ikutan setelah banjir surut adalah penyakit leptospirosis yang mematikan. Leptospirosis adalah penyakit akibat infeksi bakteri Leptospira sp yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis). Apa yang perlu kita waspadai?

Leptospirosis pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Dr Adolf Weil dengan gejala demam tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith 1887 disebut sebagai Weil’s Disease. Pada tahun 1915 Dr Inada berhasil membuktikan, Weil’s Disease disebabkan bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.

Tahun 2016 kasus leptospirosis di Indonesia mencapai 343 orang, meninggal 47 orang dan CFR (Case Fatality Rate) 13,70%. Sedangkan di DIY dengan jumlah kasus 17 orang, meninggal 6 orang. Maka CFR di DIY sangat tinggi, yaitu 35,29%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi.

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan, karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Leptospirosis dapat juga mengenai anak, yang tinggal di lingkungan padat perkotaan dengan banyak tikus rumah yang berkeliaran.

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2-26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis. Apalagi pada infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat. Hampir 40% penderita terpapar infeksi tidak bergejala, tetapi pemeriksaan serologis positif. Sekitar 90% penderita akan mengalami mata dan kulit kuning ringan, sedangkan 5% kuning berat yang dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun.

Fase septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis) serta pembesaran limpa dan hati. Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respons pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Jika yang diserang adalah selaput otak, akan terjadi depresi, kecemasan dan sakit kepala. Pada pemeriksaan hati didapatkan kulit kuning, pembesaran hati (hepatomegali) dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas. Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun. Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai kulit dan mata kuning atau jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paruparu, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu.

Diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan dengan pemeriksaan serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis. Selain pemeriksaan serologis, untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis adalah Microscopic Agglutination Test (MAT). Leptospirosis dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, amoksisillin, eritromisin dan antibiotika yang lebih baru. Namun demikian, keterlambatan pengobatan, kesalahan diagnosis, ataupun terjadinya Sindrom Weil, dapat meningkatkan angka kematian atau CFR.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Mudik Virtual

Jumat, 22 Mei 2020 | 11:56 WIB

Pasar Rakyat

Senin, 18 Mei 2020 | 01:52 WIB

Digitalisasi Buku

Sabtu, 16 Mei 2020 | 05:12 WIB

Akhir Pandemi

Jumat, 15 Mei 2020 | 04:44 WIB

Kerja Sama

Kamis, 14 Mei 2020 | 08:24 WIB

BST dan Pandemi

Rabu, 13 Mei 2020 | 02:30 WIB

Era New Normal

Selasa, 12 Mei 2020 | 09:56 WIB

Daya Tahan PTS

Senin, 11 Mei 2020 | 08:20 WIB

Pandeminomics

Sabtu, 9 Mei 2020 | 09:41 WIB

Ruang Sosial

Jumat, 8 Mei 2020 | 07:28 WIB

Didi Adalah Kita

Rabu, 6 Mei 2020 | 06:00 WIB

Kembalinya Pendidikan Keluarga

Selasa, 5 Mei 2020 | 07:24 WIB

Disrupsi Pangan

Senin, 4 Mei 2020 | 05:24 WIB

Belajar dari Covid-19

Sabtu, 2 Mei 2020 | 09:25 WIB

Menyelamatkan UMKM

Kamis, 30 April 2020 | 02:12 WIB

'Virus Sosial'

Rabu, 29 April 2020 | 08:00 WIB

Kampung Istimewa

Selasa, 28 April 2020 | 01:27 WIB

Sanksi PSBB

Senin, 27 April 2020 | 06:45 WIB

'Password Stuffing'

Sabtu, 25 April 2020 | 11:07 WIB

THR Bagi PNS

Jumat, 24 April 2020 | 05:47 WIB
X