PENETAPAN hari tata ruang 8 November sejak 2013 dilakukan dengan pertimbangan perlunya upaya meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat di bidang penataan ruang dan sosialisasi berbagai kebijakan pemerintah di bidang penataan ruang, baik di pusat maupun daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menyadari bahwa penataan ruang sebagai guidance pembangunan harus senantiasa disosialisasikan dan dikampanyekan agar benar-benar ditaati seluruh pemangku kepentingan.
Hingga kini, realitas menunjukkan bahwa tata ruang belum menjadi mainstream (arus utama) dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa tata ruang yang harusnya berperan dalam pengendalian pemanfaatan ruang justru menjadi instrumen dalam ‘tata uang’. Mengapa?
Proses pembangunan saat ini cenderung sarat dengan kepentingan pemodal yang menempatkan ‘uangnya’ untuk berproduksi pada ruang-ruang yang menguntungkan. Kepentingan ini menjadikan munculnya komersialisasi ruang dalam pembangunan wilayah, dimana ‘tata uang’ menjadi faktor yang dominan dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan ruang. Penataan ruang yang di dalamnya terdapat fungsi pengendalian justru bergeser mengikuti ‘tata uang’ yang dimainkan oleh pemodal.
Proyek pembangunan di luar pembangunan infrastruktur menunjukkan fenomena bermainnya ‘tata uang’. Secara kasat mata dapat dilihat betapa kebijakan pemanfaatan ruang bias kepentingan pemodal dan menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Sebut saja reklamasi di Teluk Jakarta, pembangunan Kota Baru Meikarta. Kemudian pembangunan Kota Baru Manado, masifnya bangunan di kawasan Puncak Bogor, maupun berjejalnya pembangunan hotel, mall dan apartemen di Yogyakarta. Ataupun maraknya pembangunan perumahan di Sleman dan pembangunan fasilitas pariwisata di zona resapan air & Kawasan Rawan Bencana Merapi. Sebagian di antaranya seolah menafikan kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Perizinan yang semestinya menjadi instrumen pengendalian pemanfaatan ruang diterabas tanpa peduli kaidah-kaidah pembangunan. Kuasai tanahnya, bangun property-nya, langsung dipasarkan, perizinan dapat dilakukan kemudian. Bahkan ada pengembang yang baru menguasai sebagian tanahnya sudah langsung berani memasarkan property yang akan dibangun. Tentu praktik-praktik demikian mengabaikan azas kepatutan dalam berusaha, bahkan cenderung melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Izin Prinsip, Izin Lokasi, Izin Pemanfatan Tanah, Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan yang kesemuanya didisain agar proyek pembangunan yang akan dilakukan benar-benar terjaga keberlanjutannya sekaligus terwujudnya tertib ruang menjadi tidak ada artinya ketika ‘tata uang’ mendelegitimasi seluruh proses perizinan.
Kondisi demikian sudah selayaknya tidak terjadi lagi. Seluruh pemangku kepentingan harus benar-benar memperhatikan tata ruang dalam melakukan aktifitas pembangunan. Proyek-proyek pembangunan yang dilakukan tanpa izin atau bahkan melanggar tata ruang harus segera ditindak tegas. Pemberian kelonggaran bagi pengembang yang membangun tanpa izin atau bahkan melanggar tata ruang hanya menimbulkan preseden buruk bagi upaya penegakan maupun upaya menciptakan tertib ruang. Momentum Hari Tata Ruang Nasional ini perlu dijadikan titik tolak untuk menempatkan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai guidance pembangunan yang keberadaannya wajib ditaati oleh seluruh pemangku kepentingan.
Telah secara tegas disebutkan dalam Undang-undang Penataan Ruang (UU 26/2007) bahwa pengaturan tentang penataan ruang diorientasikan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Oleh karena itu pengarusutamaan (mainstreaming) penataan ruang harus dilakukan terhadap seluruh pemangku kepentingan (KR, 12-08-2014). Mainstreaming tata ruang dalam pembangunan dimaksudkan agar setiap proses pengambilan kebijakan dan implementasi kebijakan pembangunan yang mengalokasikan dan memanfaatkan ruang harus menempatkan aspek tata ruang sebagai pertimbangan utama.
Tata ruang harus menjadi ‘jenderal’ yang mengarahkan dan men-drive pembangunan wilayah yang memanfaatkan ruang. Pemerintah dan pemerintah daerah harus segera menyempurnakan dan melengkapi berbagai regulasi tentang penataan ruang hingga tersedianya Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi secara lengkap, sebagai instrumen utama pengendalian pemanfaatan ruang.