DATA konsumsi masyarakat pada kuartal pertama 2017 menunjukkan pelambatan dibanding periode sebelumnya. Artinya konsumsi tetap tumbuh tetapi mengalami penurunan, biasanya di atas 5% persen menjadi 4,93%. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar termasuk oleh lembaga internasional sekalipun.
Dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5% seharusnya konsumsi akan tumbuh jauh di atas angka itu. Pelambatan ini tentu juga berimplikasi cukup dalam, mengingat bahwa kontribusi belanja konsumsi dalam pendapatan masyarakat sekitar 58%. Artinya pergerakan konsumsi merupakan cermin pergerakan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini juga dapat dibaca dari berbagai sudut pandang termasuk politik, kadang melenceng dari konteks. Apa yang seharusnya dilakukan khususnya oleh pemerintah terkait pelambatan ini?
Presiden Jokowi menyinggung bahwa penurunan daya beli masyarakat telah dipolitisir oleh lawan politik. Inilah salah satu sudut pandang dalam membaca pelambatan pertumbuhan konsumsi. Daya beli masyarakat secara keseluruhan jelas tidak turun karena ekonomi tumbuh di atas 5%. Untuk saat ini pertumbuhan sebesar itu sudah luar biasa di tengah kondisi ekonomi global yang relatif stagnan. Yang terjadi adalah ada perubahan pola konsumsi dalam masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang mendorong pembangunan infrastruktur secara luar biasa.
Belanja infrastruktur pemerintah secara besarbesaran mendorong realokasi dana masyarakat. Dari sisi pemerintah sendiri bisa kita lihat dalam dua tahun terakhir setidaknya tidak ada kenaikan gaji untuk pegawai negeri sipil (PNS). Berdasarkan bukti empiris kelompok PNS ini termasuk yang paling sensitif belanja konsumsinya. Baru ada rencana kenaikan gaji saja belanja konsumsi sudah mengalami peningkatan signifikan. Bukti lain adalah meningkatnya pendaftar haji dan umroh sebagai dampak tunjangan profesi guru, di luar belanja yang lain termasuk mobil dan motor.
Di sisi lain kebutuhan dana pembangunan infrastruktur mendorong upaya penaikan pendapatan pemerintah melalui instrumen perpajakan. Dari sini ada kesan bahwa pemerintah berupaya menggenjot pajak dari segala sisi. Kebijakan ini yang menjadi disinsentif belanja konsumsi masyarakat. Masyarakat melihat bahwa pemajakan secara masif telah mendorong naiknya harga-harga termasuk kebutuhan yang paling mendasar. Nah inilah yang luput dari pengambil kebijakan akan dampak yang muncul atas kebijakan pajak ini. Meskipun persepsi masyarakat tidak sepenuhnya sesuai fakta tetapi mempengaruhi keputusan dalam belanja konsumsi.
Belanja konsumsi dalam sejarahnya memiliki peran besar dalam perekonomian. Krisis ekonomi yang ada dalam masyarakat distimulasi oleh penurunan belanja konsumsi. Sehingga dalam perekonomian dikenal apa yang disebut paradoks hemat, artinya masyarakat yang sedikit berbelanja justru berdampak negatif bagi perekonomian. Dalam kondisi perekonomian global yang stagnan sehingga ekspor tidak mudah ditingkatkan maka peningkatan belanja dalam negeri harus menjadi pilihan pemerintah. Persoalannya pemerintah harus cermat dan intensif mengelola belanja konsumsi masyarakat.
Penguatan ekonomi domestik yang ditandai penguatan konsumsi masyarakat adalah suatu keniscayaan. Ada beberapa cara dapat dilakukan terutama terkait dengan anggaran pemerintah. Beberapa tahun terakhir kebijakan tentang PNS atau sekarang disebut aparatur sipil negara (ASN) sangat ketat mengingat besarnya komponen belanja pegawai hampir di semua daerah. Sehingga rekrutmen pegawai sangat dibatasi bahkan dua tahun terakhir tidak ada kenaikan gaji.
Kebijakan yang lain adalah terkait dengan upaya peningkatan pajak yang dilakukan oleh pemerintah saat ini juga harus terukur dan jangan sampai sangat disinsentif pada belanja masyarakat. Terkait dengan kebutuhan yang paling mendasar pemerintah jangan buru-buru melakukan pemajakan yang progresif. Justru pada saat terjadi pelemahan belanja konsumsi seperti saat ini maka penurunan pajak atau pemberian insentif pada sektor kunci justru diperlukan agar mendorong konsumsi.