Nasib etnis minoritas rohingnya di  Myanmar sangat  mengenaskan. Berbagai kelompok etnis minoritas lainnya sebenarnya ada di Myanmar, seperti, Karen, Kachin, Karen, Shan dan sebagainya. Namun yang paling  mengalami persekusi adalah etnis muslim Rohingnya yang berjumlah  kurang lebih 1,2 juta orang dan berdiam di negara bagian Rakhine. Kelompok etnis ini menderita karena harus menghadapi tekanan pemerintah Manmar yang melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing) secara sistematis.
Bebeda dengan nasib kelompok minoritas lainnya, pemerintah Myanmar tidak pernah mau mengakui status kewarganegaraan etnis Rohingya ini. Pemerintah menganggap mereka sebagai masyarakat imigran gelap dari Bangladesh yang harus diusir. Padahal, menurut catatan sejarah, etnis Rohingnya bukanlah pendatang baru. Mereka sudah berdiam di wilayah yang didiami saat ini dari generasi ke generasi sejak abad 15 (kelima belas).
Di bawah Undang Undang Kewarganegaraan tahun  1982, etnis muslim Rohingya  tidak dicantumkan dalam daftar resmi 135 kelompok etnis yang berhak mendapatkan status kewarganegaraan. Akibatnya, etnis Muslim Rohingya  berstatus tanpa kewarga-negaraan (stateless people). Hal ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah Myanmar untuk melakukan  kejahatan kemanusiaan terhadap minoritas ini.Â
Berbagai kebijakan diambil untuk mengimplentasikan rencana tersebut. Pembatasan bergerak, pembatasan akses  kesehatan, tempat tinggal, akses pendidikan,  penahanan semena-mena serta  kerja paksa. Bagi etnis  ini, bepergian juga dihambat oleh berbagai peraturan, pemeriksaan keamanan yang ketat, pemberlakuan jam malam. Situasi tersebut diperparah dengan kondisi kehidupan yang 85% miskin, over populasi, serta  fasilitas sarana kesehatan yang sangat dibatasi.Â
Kondisi mengenaskan tersebut sudah berlangsung cukup lama. Kondisi tersebut makin parah  selama Myanmar berada di bawah pemerintahan junta militer (1962-2011). Harapan baru muncul setelah partai National League for Democracy (NLD) pimpinan Aung San Suu kyi memenangkan pemilu. Namun harapan kandas karena kebijakan persekusi terhadap etnis Rohingnya tersebut  masih terus dilanjutkan  oleh pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi, seorang tokoh yang “terlanjur†diganjar hadiah Nobel Perdamaian karena perannya sebagai tokoh demokrasi di Myanmar.
KEGAGALAN PENDEKATAN ASEANÂ
ASEAN adalah organisasi yang diakui cukup sukses berperan dalam menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Berkat ASEAN pula, hubungan harmonis antara para  pemimpin dan antar-negara tercipta dan menjadi modal penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini selama lima puluh tahun terakhir.Â
Namun, bagaimana dengan masalah human security, seperti pelanggaran HAM yang beralangsung di Myanmar saat ini? Jawabannya kelihatannnya tidak menggembirakan. Organisasi ASEAN ini tidak bisa melakukan langkah-langkah yang berarti dalam menangani krisis kemanusiaan  ini. Secara kelembagaan, ASEAN sebenarnya juga sudah membentuk Komisi HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights-AICHR). Namun, gerak komisi ini dibatasi dan idak bergigi karena prinsip dan kultur diplomasi ASEAN yang unik, yang dikenal sebagai “ASEAN Way.â€Â