Peristiwa G30S-PKI membawa dampak besar. Tidak hanya pada kehidupan sosial dan politik, tetapi juga pada seni dan kebudayaan. Pek Bung ikut merasakan imbasnya. Pementasan mulai jarang diadakan.
Alat musik disimpan, para pemain beralih pada pekerjaan lain. Perlahan, Pek Bung hilang dari panggung rakyat. Tahun 2009 menjadi titik balik, Semangat masyarakat Pandak kembali menghidupkan Pek Bung. Sejumlah paguyuban lahir, membawa Pek Bung kembali ke panggung.
Diantaranya yaitu Paguyuban Pek Bung Abakura, Dakon Margo Budoyo, Tri Manunggal Sari, Laras Ati, Sambung Tresno, Cahya Muda, dan Laras Wiji Sewu. Namun, perjalanan tidak mudah.
Tantangan zaman membuat beberapa paguyuban tak lagi aktif. Hingga tahun 2025, hanya tersisa Paguyuban Pek Bung Abakura dan Tri Manunggal Sari yang masih aktif melestarikan Kesenian Pek Bung.
"Kesenian Pek Bung punya banyak fungsi, diantaranya, hiburan, sarana komunikasi dengan menyampaikan pesan, nasihat, dan perasaan melalui syair-syair sederhana, hingga media edukasi bagi masyarakat. Dalam ruang religius, Pek Bung kerap dimainkan sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus doa pada acara keagamaan. Di sisi lain, Pek Bung juga memperkuat ikatan sosial dan budaya, menghadirkan kebersamaan, gotong royong, serta menjaga identitas lokal," ujarnya.
Sedang dalam menjaga agar Pek Bung tetap lestari dimasa depan, kuncinya ada pada regenerasi anak muda, dukungan masyarakat, dan inovasi agar bisa mengikuti zaman tanpa meninggalkan tradisinya.
Selain itu, perlu ada perhatian dari pemerintah serta promosi melalui media, supaya Pek Bung dikenal lebih luas dan tetap lestari. (Roy)