Krjogja.com - PURWOKERTO – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno terkait pentingnya Dual Track System dalam pendidikan profesi dokter dinilai tidak sepenuhnya tepat.
Pratikno sebelumnya menegaskan bahwa pendidikan spesialis harus berjalan dengan dua jalur, yakni university-based (di bawah Kemendiktisaintek) dan hospital-based (di bawah Kemenkes). Menurutnya, dua sistem tersebut bukanlah bentuk kompetisi, melainkan saling melengkapi.
Baca Juga: 997 Wisudawan UAJY Siap Hadapi Persaingan Global, Cetak Lulusan Perdana Program Profesi Arsitek
“Antara university-based dan hospital-based untuk pendidikan spesialis ini bukan kompetisi, tetapi komplementaritas. Bukan pembagian kapasitas, tetapi perkalian kapasitas,” kata Pratikno, Kamis (28/8/2025).
Namun, pandangan itu dinilai tidak berlandaskan konstitusi yang tepat. Nanang Sugiri SH dari Yayasan TRIBHATA Banyumas menyebut kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan masalah serius dalam tata kelola pendidikan kedokteran di Indonesia.
“Semangat transformasi perubahan berupa terobosan alternatif penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis atau subspesialis justru secara nyata melanggar asas kepastian hukum sebagaimana diamanatkan pasal 28D ayat 1 UUD 1945,” tegasnya, Minggu (31/8/2025) di kantornya.
Menurut Nanang, yang juga berprofesi sebagai advokat, menjelaskan pendidikan profesi untuk dokter spesialis dan subspesialis merupakan bagian dari pendidikan tinggi, sehingga harus tunduk pada regulasi pendidikan yang berlaku, yakni UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Artinya, penyelenggara sah hanyalah perguruan tinggi. Ia menilai dual track system justru akan melahirkan dualisme sistem pendidikan yang membingungkan, menimbulkan ketegangan, hingga menambah beban psikologis bagi mahasiswa. Perbedaan tata kelola, kultur, dan mekanisme evaluasi antara perguruan tinggi dan rumah sakit pendidikan dikhawatirkan memperburuk kualitas pendidikan spesialis.
Lebih jauh, Nanang menyebut pemberlakuan dualisme tanpa harmonisasi regulasi terlebih dahulu merupakan bentuk pelanggaran terhadap pasal 31 ayat 3 UUD 1945. Karena itu, menurutnya, UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan perlu dikaji ulang.
“UU Kesehatan adalah regulasi setengah jadi dan masih banyak menyimpan masalah. Dual track system justru bisa menimbulkan problem baru bila regulasinya tidak diharmonisasikan lebih dulu,” ujarnya.
Terkait wacana penyelesaian melalui kesepahaman antara Kemendiktisaintek dan Kemenkes, Nanang menilai langkah tersebut tidak final. Sebab, potensi perdebatan akan terus muncul karena pelanggaran konstitusi tidak bisa diselesaikan hanya dengan kesepakatan dua kementerian.
“Dualisme bukan solusi, tapi jebakan yang memecah energi. Undang-undang kesehatan tak boleh membelah, pendidikan spesialis harus satu arah,” pungkasnya.(Dri)