Krjogja.com, PURWOKERTO – Di tengah keputusasaan Mahasiswa perantau asal Aceh dan Sumatera Utara yang terisolasi dari keluarga pascabencana, Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) tampil sebagai penyelamat.
Rektor UMP, Prof. Jebul Suroso, Jumat (12/12/2025) mengeluarkan kebijakan luar biasa yang menjamin kelangsungan hidup dan pendidikan mahasiswa yang sedang cemas di perantauan.
Merespons keluh kesah yang menyayat hati ini, Rektor UMP, Prof. Jebul Suroso, bertindak cepat menggelar acara Sambung Rasa Mas Rektor & Mahasiswa UMP, Jumat (12/12/2025).
Dengan penuh empati, Prof. Jebul Suroso menegaskan bahwa UMP tidak akan membiarkan delapan mahasiswanya asal Aceh dan Sumatera Utara terlantar.
“Ini adalah bentuk partisipasi, simpati, dan empati kampus kami. Kami memastikan anak-anak kami di perantauan tidak perlu lagi memikirkan biaya kuliah dan kelaparan,” tegas Prof. Jebul Suroso.
Kebijakan kemanusiaan Rektor UMP yang disiapkan untuk membantu mahasiswa terdampak bencana meliputi.
SPP Gratis Satu Tahun Penuh: Pembebasan penuh Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) tetap per semester selama dua semester (satu tahun akademik) bagi mahasiswa yang kesulitan finansial akibat bencana.
Jaminan Makan Gratis 3x Sehari: Penyediaan makan gratis tiga kali sehari di Samara Kafe, menjamin kebutuhan pokok mahasiswa yang terputus dari kiriman uang keluarga terpenuhi.
UMP juga mengirimkan tenaga psikososial langsung ke wilayah terdampak untuk membantu rehabilitasi pascabencana.
UMP mengajak anak-anak SMA atau saudara-saudara mahasiswa yang terdampak untuk melanjutkan studi di UMP dengan skema beasiswa khusus dan penempatan di asrama UMP.
Pihak kampus bahkan siap menjemput calon mahasiswa tersebut dari lokasi bencana.
Aksi nyata Rektor UMP ini tidak hanya memberikan bantuan finansial, tetapi juga membawa ketenangan psikologis bagi para mahasiswa yang sedang cemas.
Selain itu, UMP turut menggalang donasi melalui Lelang Lukisan Efrisa, yang kemudian seluruh hasilnya akan didonasikan untuk keluarga korban bencana, menunjukkan komitmen kampus dalam aksi kemanusiaan yang masif.
Julia Mawaddah (22), mahasiswi UMP jurusan Sastra Inggris asal Meulaboh, Aceh Barat menggambarkan situasi genting di kampungnya "Listrik, internet, semua mati. Kami tidak tahu kondisi orang tua di sana. Ancaman terbesar kami saat ini adalah putusnya kiriman biaya hidup," ujar Julia.
Keluhan serupa disampaikan Fariha Salsa Bila(19) yang desanya terisolir dan harus berjalan kaki berhari-hari hanya untuk mencari sinyal.
Asrar Al Sirjani, mahasiswa Bireun, bahkan menyampaikan laporan pilu:
"Banyak keluarga di Aceh yang butuh logistik karena ada laporan warga meninggal akibat kelaparan, bukan hanya karena bencana. Akses pengiriman makanan terhambat karena jembatan putus," ungkapnya.(Dri)