Krjogja.com – PURWOKERTO - Komitmen Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam mengatasi persoalan Anak Tidak Sekolah (ATS) patut diacungi jempol.
Melalui gelaran Gebyar Pendidikan Non-Formal (PNF) Tahun 2025, Dinas Pendidikan (Dindik) Banyumas mengklaim sukses menekan jumlah ATS secara drastis, dari sekitar 27.000 anak kini tersisa menjadi 13.000 anak.
Baca Juga: Ada Nicholas Saputra, ‘A Day of Purity’ Ajak Masyarakat Kembali ke Kemurnian
Acara Gebyar PNF ini secara resmi dibuka oleh Sekda Banyumas, Agus Nur Hadie, di komplek kantor Dindik pada Rabu (15/10). Dalam sambutannya, Sekda menegaskan bahwa kegiatan ini adalah bukti nyata komitmen Pemkab untuk meningkatkan mutu pendidikan non-formal sekaligus mendukung Gerakan Nasional Penanganan ATS.
Penurunan angka yang signifikan ini, menurut Agus Nur Hadie, tak lepas dari sejumlah inovasi. Salah satunya adalah pemanfaatan aplikasi Sipatas (Semangat Penanganan Anak Tidak Sekolah). Selain itu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi strategi yang sangat efektif berkat fleksibilitasnya.
"PKBM itu sekolah yang sore, ada yang malam. Siswa-siswanya juga beragam, banyak yang sudah bekerja, tetapi tetap semangat menempuh pendidikan," jelas Sekda.
Sementara itu, Kepala Dindik Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono, memaparkan tiga alasan utama di balik penyelenggaraan gebyar yakni.
Menyampaikan informasi bahwa negara hadir memberikan perluasan akses layanan pendidikan.
Memastikan komitmen Pemkab Banyumas dalam mendukung pendidikan non-formal sebagai bagian dari filosofi “Education for All”. Memberikan referensi agar masyarakat tidak malu bersekolah di lembaga non-formal.
Joko Wiyono juga memberikan penegasan penting, Ijazah Paket C memiliki kesetaraan penuh dengan ijazah SMA. Ini berlaku untuk melanjutkan kuliah, mendaftar kerja, hingga masuk TNI/Polri.
Kepala Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Tengah, Nugraheni Triastuti, turut hadir dan memberikan apresiasi tinggi. Ia menilai PNF di Banyumas tidak hanya sekadar menangani ATS, tapi juga memfasilitasi anak untuk mengoptimalkan potensi mereka.
Hal ini terlihat jelas dari ekspo karya yang dipamerkan, seperti produk kopi dan makanan ringan, yang membuktikan bahwa proses belajar berjalan secara produktif.
“Belajar tidak selalu di ruang dengan meja kursi, tetapi dengan beraktivitas mampu menghasilkan sesuatu itu juga merupakan proses belajar,” ujar Nugraheni. Ia berharap kegiatan ini mampu mengubah pandangan masyarakat agar lebih yakin memilih jalur pendidikan kesetaraan.(Dri)