Jakarta - Perubahan iklim menjadi isu global, meskipun masih kerap ada yang mempertanyakan fenomena itu apakah merupakan fakta atau mitos.
Sebagian orang meragukan terkait apakah ada riset khusus, misalnya di beberapa lokasi di Indonesia yang bisa membuktikan bahwa perubahan iklim itu nyata terjadi dengan fakta-fakta yang kasat mata.
Secara logika, sejatinya perubahan iklim dapat dirasakan dari perbedaan cuaca atau kondisi yang terjadi, misalnya dalam 4 atau 5 dekade lalu di satu wilayah, seperti Bogor masa kini, yang pasti berbeda dengan kondisi Bogor, beberapa tahun lalu.
Merespons kemungkinan terjadinya perubahan iklim agar tidak menimbulkan dampak yang lebih luas, perlu dilakukan upaya maksimal untuk menekan karbon yang terlepas ke atmosfer.
Itulah yang mendorong pemerintah di berbagai negara di dunia memberi perhatian khusus terkait mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebab, meskipun tidak selalu tampak, namun perubahan iklim merupakan kenyataan yang dihadapi umat manusia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah mengatakan perubahan iklim berdampak pada sejumlah sektor prioritas di Tanah Air. Perubahan iklim di Indonesia telah berdampak pada sektor prioritas, yaitu pangan, air, kesehatan, energi, dan ekosistem.
Kerugian dan kerusakan yang terjadi pada bidang prioritas dapat berpengaruh pada sulitnya pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, ia mengajak masyarakat ikut ambil bagian dalam meminimalkan dampak perubahan iklim.
Mitigasi perubahan iklim itu, di antaranya dapat dilakukan dengan sekuestrasi karbon seiring dengan peningkatan produktivitas lahan. Dengan kata lain, melakukan upaya menarik sebanyak mungkin CO2 dan menyimpannya dalam bentuk Carbon Sequestration di dalam tanah, sekaligus untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas.
Produktivitas lahan akan mendorong tumbuhnya vegetasi yang lebih luas, sehingga penangkapan karbon melalui proses fotosintesis tanaman terjadi lebih banyak. Inilah konsep pertanian karbon yang secara ideal bisa menjadi mitigasi yang efektif untuk menekan dampak perubahan iklim.
Pertanian karbon akan mendorong terbangunnya adaptasi, seperti ecobiodiversity atau market untuk carbon credit atau ecotourism.
Kombinasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang baik akan mendorong terwujudnya tujuan besar konservasi tanah dan air di suatu wilayah.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia, telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mendorong praktik pertanian karbon.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan inisiatif untuk mendukung implementasi pertanian karbon, dengan fokus pada peningkatan penyimpanan karbon di sektor pertanian dan kehutanan.
Beberapa kebijakan utama terkait pertanian karbon di Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Regulasi ini mengatur kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi gas rumah kaca (GRK) secara berkala.
Ada pula Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) yang menetapkan target penurunan emisi karbon dan peningkatan ketahanan iklim hingga tahun 2050.