Film 'Koesroyo: The Last Man Standing' Sebuah Simfoni Terakhir dari Sang Legenda

Photo Author
- Selasa, 20 Mei 2025 | 08:00 WIB
Poster film dokumenter Koesroyo: The Last Man Standing
Poster film dokumenter Koesroyo: The Last Man Standing

Krjogja.com - Di sebuah ruang bioskop yang remang, suara khas gitar melodius dan vokal lembut mengalun pelan. Sebuah kalimat muncul di layar: "Kalau bukan karena musik, saya mungkin bukan siapa-siapa."

Begitulah Koesroyo Koeswoyo, atau lebih kita kenal sebagai Yok Koeswoyo, membuka kisah hidupnya dalam dokumenter musik paling ditunggu tahun ini – Koesroyo: The Last Man Standing.

Di usia senja, Yok bukan hanya satu-satunya personel Koes Bersaudara/Koes Plus yang masih hidup. Ia adalah penjaga terakhir dari sebuah era, dari sebuah bab penting sejarah musik Indonesia yang tak tergantikan.

Melalui dokumenter ini, kita diajak tidak hanya untuk melihat ke belakang, tetapi juga untuk merenungi makna dedikasi, perlawanan, dan cinta terhadap musik yang tak pernah padam.

Lebih dari Sebuah Dokumenter Musik
Film dokumenter berdurasi 61 menit ini bukan sekadar montase nostalgia atau kilas balik kejayaan band legendaris. Ini adalah potret manusia. Yok ditampilkan bukan sebagai rockstar, bukan sebagai ikon semata, melainkan sebagai ayah, suami, sahabat, dan anak dari seorang bangsawan Tuban yang sempat melarangnya bermusik.

Kisahnya nyaris seperti dongeng: seorang pemuda Jawa, melawan larangan keluarga, masuk penjara karena memainkan musik "barat" di masa Orde Lama, hingga akhirnya menjadi bagian dari band yang dianggap sebagai pelopor pop Indonesia modern. Di balik gemerlap panggung, ada kisah tentang kesetiaan, kehilangan, bahkan tugas rahasia sebagai petugas intelijen negara yang tak banyak diketahui publik.

Sutradara dengan cermat meramu arsip lawas, wawancara emosional dengan keluarga seperti Sari dan Michelle Koeswoyo, serta komentar tajam dari pengamat musik seperti David Tarigan dan budayawan Hilmar Farid. Semua elemen ini menjadikan dokumenter ini sebagai perayaan hidup, bukan sekadar pelaporan sejarah.

Warisan yang Tak Ternilai
Ketika dunia musik makin dikuasai oleh algoritma dan tren viral, Koesroyo: The Last Man Standing hadir sebagai pengingat bahwa musik sejati lahir dari jiwa – dari idealisme, bukan sekadar industri.

Melalui dokumenter ini, kita juga diajak memahami bagaimana Koes Plus – yang dulu sempat dianggap "biasa-biasa saja" oleh kalangan intelektual – justru mampu menyentuh jutaan hati rakyat Indonesia dengan lagu-lagu sederhana, namun jujur. Dalam tiap bait lirik dan dentingan gitar, tersimpan kejujuran zaman yang tak bisa dibohongi.

Satu Pria, Ribuan Lagu, Jutaan Kenangan
Dalam salah satu adegan paling menyentuh, Yok duduk sendiri di studio lamanya, memandangi gitar tuanya yang sudah kusam. Ia berkata lirih, “Semua saudara saya sudah tidak ada. Tapi musik ini tetap hidup.”

Kalimat itu merangkum esensi film ini: Yok bukan hanya the last man standing, tapi juga the last storyteller dari sebuah babak emas musik Indonesia.

Epilog: Tidak Pernah Benar-Benar Pergi
Seiring penayangan perdana yang ditunggu-tunggu ini, kita tak hanya menonton sebuah film. Kita menghadiri sebuah ritus budaya, merayakan seorang lelaki yang telah memberikan suaranya bagi bangsa ini selama lebih dari lima dekade.

Dan ketika layar kembali gelap, kita tahu satu hal: Yok Koeswoyo belum benar-benar pergi. Selama musiknya masih dinyanyikan, ia akan terus hidup. (Abp)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lima Fakta Menarik Film Timur untuk Isi Liburan

Rabu, 17 Desember 2025 | 21:45 WIB
X