“Angngaru itu artinya sumpah prajurit kepada daerahnya, kepada rajanya,†ujar Ipang, salah satu panitia.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa sumpah itu juga menunjukkan laki-laki Bugis-Makassar harus berpegang teguh pada kata-katanya.
Di bagian penghujung pementasan, performance ditutup dengan tarung sarung Bugis, Sitobo Lalang Lipa, atau Sigajang Lalang Lipa. Pertarungan itu dilakukan oleh dua orang yang saling menikam di dalam sarung, sampai salah seorang di antaranya menemui ajal.
“Sitobo Lalang Lipa itu cara untuk menyelesaikan masalah di antara dua pria yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah,†kata Ipang menjelaskan tarung sarung dari kacamata budaya daerahnya.
Selain seluruh penampil, kebanyakan penonton juga berasal dari ikatan mahasiswa atau masyarakat Timur yang berada di Yogyakarta. Bukan cuma pesta atau pertunjukan kebudayaan, pentas ini merupakan wujud solidaritas dan persaudaraan di panggung seni. (*)