Kisah yang lebih tragis dialami Sandi. Ia diberhentikan dari tempat kerjanya karena pihak perusahaan mengetahui dirinya sedang bermasalah dengan kredit online.Â
Lagi-lagi karena pihak Pinjol sering menghubungi pimpinannya di perusahaan. Sehingga pihak perusahaan risih dan menganggapnya bermasalah hingga akhirnya memberhentikan Sandi.   Â
Menurut praktisi hukum tindakan Pinjol yang mempermalukan nasabah tersebut sesungguhnya tidak dibenarkan. Sebab cara dan proses penagihan kepada kreditur harus mematuhi pokok-pokok etika sesuai mekanisme yuridis yang telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia nomor 14/17/DASP.Â
Penagihan dengan cara yang melampaui batas etika, menurut Akhlis bagaikan rentenir yang berubah wujud. Nasabah juga harus kritis dalam memilih financial technology (Fintech) atau lembaga penyedia pinjaman online. Fintech yang resmi tentu terdaftar di OJK.Â
Jika tidak terdaftar di OJK maka Fintech tersebut berarti bodong dan bisa diperkarakan secara hukum. Setiap Fintech yang resmi pasti bisa dilacak identitas dan alamat perusahaannya.
Apabila tindakan debt collector (DC) dari pihak Pinjol melampaui batas seperti meneror, mengancam jiwa, mencemarkan nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, hal tersebut bisa diperkarakan secara hukum oleh nasabah. Antara lain dengan melaporkan ke OJK dan polisi untuk diproses hukum.
Sebaiknya nasabah tidak menghindar atau lari dari tanggungjawab. Sebab hutang memang wajib dibayar. Jika keberatan membayar bunga, nasabah dapat mengajukan surat permohonan kepada pemberi kredit (kreditur) dan bernegosiasi untuk membayar pokok pinjaman terlebih dahulu. Dalam proses negosiasi tersebut, nasabah wajib mendapat balasan secara tertulis. (Akhlis Mukhidin SH MH, advokat)