"Pendidikan vokasi seperti politeknik tidak hanya memberikan ijazah karena ijazah kurang laku untuk digunakan melamar pekerjaan di industri, (sedangkan) yang laku adalah sertifikat kompetensi yang dikeluarkan dari lembaga kredibel", tuturnya.
Pada acara tersebut Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti berdiskusi santai bersama Badri Munir Sukoco Ketua Badan Perencana dan Pengembangan Unair, Djwantoro Hardjito Rektor Universitas Kristen Petra dan Akhyari Hananto Founder GNFI & SEASIA, dengan moderator Suko Widodo dari Universitas Airlangga.
Senada dengan Patdono, Badri Munir Sukoco juga menyampaikan mengenai pentingnya membangun daya saing generasi muda Indonesia.
Menurutnya, nilai IPK saja tidak cukup untuk bersaing mendapatkan pekerjaan, melainkan perlu adanya kreativitas untuk menciptakan ekonomi baru.
Rektor Universitas Kristen Petra juga menjelaskan siasatnya dalam menyiapkan perguruan tinggi dalam menjalani era disrupsi. Caranya dengan mengembangkan program baru di perguruan tingginya.
"Sekarang industrinya sudah beda, kita perlu ubah kurikulumnya. Misalkan, dulu pendidikan sastra hanya jadi penikmat sastra saja, sekarang kita dorong sastra untuk meng-create sesuatu sehingga masuk ke industri kreatif", terangnya.
Sementara itu, Akhyari Hananto menyampaikan data World Economic Forum bahwa di tahun 2022 akan ada 75 juta pekerjaan yang hilang dan terganti oleh 135 juta pekerjaan baru. Oleh karena itu generasi muda perlu menyiapkan diri dengan era disruptif ini.
"Selalu ada tantangan dan ada pula opportunity yang juga kita harus manfaatkan", pungkasnya.(ati)