Rombongan tim Garuda UNY sebelum berangkat ke Korea Selatan
Walaupun pada akhirnya juara, kecemasan mereka benar-benar terbukti ketika mengkuti kejuaraan di Jepang. Karena belum tahu medan, tim Garuda UNY tidak bisa menghadapi cuaca di negeri matahari terbit sana dengan maksimal.Â
Waktu itu memang musim panas. Tapi di Jepang maupun negara beriklim sub-tropis lainnya, siang hari yang begitu terik bisa terbalik 180 derajat di malam harinya. Zainal ingat betul termometer dinding hotelnya yang menunjukkan suhu belasan derajat celcius pada suatu malam disana.
"Jadilah teman-teman karena tidak terbiasa dengan cuaca tropis, akhirnya banyak yang sakit. Mengeluh cuaca, termasuk mengeluh makanannya," ungkapnya yang kemudian mengisahkan perbedaan nasi Jepang dan Indonesia. Walaupun sama-sama nasi, tapi cara makan, dengan lauk dan bumbu yang berbeda ternyata menghasilkan corak rasa yang berbeda drastis pula.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Zainal bertekad untuk membentuk tim yang menurutnya bercorak lebih "bhinneka." Merangkul mahasiswa dari berbagai program studi yang tersebar di penjuru UNY. Selain dari Teknik Otomotif maupun Teknik Mesin, ia kemudian mengajak para mahasiswa dari jurusan IPS, Akuntansi, maupun pendidikan bahasa Inggris untuk menyokong tim.
"Termasuk dari Pendidikan Olahraga kita rekrut juga. Para anggota tim perlu dilatih kebugaran supaya tidak dingin sedikit lalu jatuh sakit. Juga pelemasan dan pijat-pijat berbasis sport science," tegasnya.
(Ilham Dary Athallah/Maylatul Aspiya/Erna Wati)