Aghnia menegaskan pentingnya kolaborasi, seperti antara para akademisi dan jurnalis, untuk menanggulangi arus disinformasi yang jamak menjamur di platform media digital.
Melanjutkan paparan Aghnia, Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Elin Y. Kristanti mengingatkan betapa ruang media digital telah begitu pesat mempengaruhi dunia jurnalistik.
Elin menyoroti bagaimana media digital membuat informasi menyebar secara liar dari banyak orang. Seolah, semua orang mendadak jadi jurnalis.
"Akhirnya jadi banyak informasi yang beredar. Kita yang jadi lelah, terus nyari yang enak. Lari ke medsos (media sosial)," sangsi Elin.
Elin juga memaparkan bagaimana sistem algoritma telah memenjara informasi. Berita tak lagi melulu soal sesuatu yang penting, melainkan sesuatu yang disukai oleh algoritma.
"Perusahaan media akhirnya yang rugi. PHK di mana-mana. Banyak media yang tutup," terangnya.
Lebih lanjut, Fransiskus Surdiasis bahkan menyebut bahwa disinformasi sebagai bahaya paling besar dalam industri media saat ini.
Karenanya, Anggota Komite Publisher Rights itu memandang bahwa negara perlu secara serius menangani hal tersebut.
"Disinformasi sering dilihat sebagai problem komunikasi. Padahal, sebetulnya ini adalah problem kepercayaan," terang Frans.
Melengkapi tiga paparan awal, Abdul Gaffar Karim dari Fisipol UGM membedah disinformasi dan algoritma dari sudut pandang politik dan pemerintahan.
Gaffar memandang bahwa algoritma media digital yang tidak pernah netral rentan dikendalikan oleh figur-figur raksasa yang berkepentingan.
"Banyak negara memanipulasi misinformasi sebagai senjata bagi aristokrat modern," telisik Gaffar.
Lulusan Universitas Flinders itu menegaskan perlunya kecerdasan untuk mampu membedakan narasi fakta dan fiksi.
"Hari ini siapa yang percaya KPU atau Polisi, misalnya? Sangat sedikit. Kita kesulitan memilah fakta dan fiksi," tandas Gaffar. (*)