“Pak, ampun kesupen nggih, ngenjang nyoblos calone kula (‘Pak, jangan lupa, besok coblos calon yang saya bawa’),†kata seorang pria anggota tim pemenangan calon legislatif tingkat dua.Â
“Niki kula dititipi amanah saking Bapak, kagem njenengan, sekalian kula bade pamit. Ditampi nggih, Pak (‘Ini ada titipan amanah dari caleg, untuk Bapak, sekalian saya mau pamit. Diterima ya, Pak’),†lanjutnya saat bertamu di rumah warga konstituen. Sembari berdiri menyalami tuan rumah, si tamu menyelipkan amplop berisi lembaran biru berlogo Bank Indonesia dan juga sebuah stiker bergambar pria berpeci. Gagah juga fotonya.
Pikiran si tamu melayang, membayangkan wajah tuan rumah bakal menunjukkan ekspresi gembira menerima pemberiannya. Kira-kira, kalau difilmkan, ujung happy ending yang diharapkan pria yang sudah lama malang melintang di dunia perpolitikan tingkat kampung itu.
Namun, jawaban berbeda meluncur dari mulut si tuan rumah. Sebuah penolakan, yang dilakukan dengan tenang, tanpa kegaduhan, demi menjaga perasaan tamunya. Tuan rumah paham betul jika seorang tamu, siapapun dia, adalah raja.
“Pun Pak, mboten usah maringi arta. Kula pancen pun niat ndukung calon ingkang njenengan bekta, ning kula mboten perlu diparingi arta kados ngaten. Kula mboten purun nampi (‘Sudah Pak, tidak usah memberi uang. Saya memang sudah niat mendukung caleg yang Bapak bawa, tapi tidak perlu diberi uang. Saya tidak mau menerima’),â€.
Bahasanya halus, sopan, menampar tanpa membuat sakit, elegan, dan jelas-jelas tegas.
Bahasa penolakan itu beberapa kali diungkapkan warga Desa Kaliurip, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo, menjelang pemilu 17 April 2019.
Warga mulai paham buruknya dampak politik uang bagi masa depan bangsa. Uangnya tidak seberapa, paling senilai lima kilogram beras medium, tapi apakah aspirasi mereka bakal tersalur selama lima tahun periode kerja? Entahlah. Tergantung bagaimana kualitas wakil yang terpilih.