Diceritakan, sebelum area pertambangan di Kali Woro dibuka, Desa Sidorejo rawan terjadi pencurian ternak. Namun setelah dibukanya area pertambangan justru mengubah kehidupan lingkungan masyarakat menjadi lebih aman, tentram dan nyaman. Masyarakat bisa menyekolahkan anak, memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mengandalkan bekerja sebagai penambang (golongan C) di Kali Woro.
"Kami menolak adanya normalisasi di Kali Woro karena kegiatan itu hanya akan berdampak negatif di kemudian hari bagi penambang tradisional. Kami mau makan apa. Padahal kami butuh menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk itu kami minta normalisasi dibatalkan dan pembatalan harus hitam di atas putih," ujarnya.
Sebelumnya dalam sosialisasi di Aula Kantor Desa Sidorejo beberapa waktu lalu, Konsultan Teknis PT. Apollu Nusa Konstruksi, Waluyo, mengatakan, normalisasi Kali Woro yakni dengan melakukan penataan Dam (konstruksi yang dibangun untuk menahan laju material lahar dingin) dan membuang keluar material sisa yang berada di tengah Dam.
Rencananya, normalisasi dilakukan antara Dam III sampai Dam VI yang berjarak 1.600 meter. Namun berhubung adanya penolakan dari para penambang tradisional, pihaknya terpaksa mempending normalisasi hingga situasi kondusif.
"Material sisa itu harusnya secepatnya diambil dan dikeluarkan. Hal itu untuk membuat cekungan agar jika terjadi banjir membawa material dari hulu akan masuk dan tertampung ke cekungan tersebut. Sedangkan proses itu kami dievaluasi per enam bulan, artinya jika cekungan sudah terisi material maka akan dikeluarkan lagi," jelasnya.(Lia)