Krjogja.com - Di tengah dentuman distorsi dan energi yang tak kenal kompromi, Outlife, unit hardcore asal Jogja, menghadirkan sebuah mini album bertajuk “Still Alive”.
Sebuah deklarasi sonik penuh perlawanan, harapan, dan semangat hidup—bukan hanya untuk pendengar, tapi juga bagi mereka sendiri sebagai band yang bertahan lewat dua tahun gejolak dan pencarian arah.
Baca Juga: Keindonesiaan Berpangkal dari Kebangsaan dan Kebudayaan
Mini album ini bukan sekadar rangkaian lagu keras penuh teriakan. Ini adalah peta emosional, pengakuan jujur yang dibalut dalam enam track penuh intensitas, termasuk satu intro. Outlife tak cuma ingin didengar—mereka ingin dirasakan.
Track pembuka “Wake Up Call” adalah titik mula sekaligus pijakan semangat. Riff cepat dan vokal penuh urgensi menyuarakan pesan mendasar: “Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?” Lagu ini tak hanya menjadi pembuka album, tapi juga membuka babak baru bagi band ini sendiri—sebagai bentuk pembuktian, bukan basa-basi.
Single kedua sekaligus judul utama album, “Still Alive”, menjadi klimaks emosional. Ditulis paling akhir, lagu ini terasa seperti retrospeksi: dua tahun perjalanan diwarnai rasa lelah, tawa, amarah, dan solidaritas. “But we’re still alive now!” bukan sekadar kalimat penutup; itu mantra bertahan yang menjadi napas album ini.
Baca Juga: PSS Tunggu Regulasi Liga 2, Persaingan Bakal Ketat
Dengan kemarahan yang terukur, “Human Rights” jadi monumen sonik bagi mereka yang merasa kehilangan suara dalam sistem yang bobrok.
Di balik distorsi dan gebukan drum, tersembunyi narasi luka kolektif atas pelanggaran HAM dan kekerasan institusional. Outlife mengajak pendengar untuk tidak diam—untuk tetap berani bersuara.
“Insureksi Diri” adalah satu-satunya lagu berbahasa Indonesia di EP ini, dan justru itu membuatnya mencolok.
Lagu ini adalah ajakan untuk bangkit melawan stigma, skeptisisme, dan overthinking—hal-hal yang kerap membunuh semangat dari dalam. Dengan beat yang dinamis, lagu ini menempatkan hardcore dalam dimensi introspektif namun tetap penuh tenaga.
Sebagai lagu penutup, “Change For Better” adalah benang merah yang menyatukan semua. Di tengah kekacauan, Outlife menyerukan optimisme radikal: bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk berubah.
Lirik seperti “berubah untuk jadi lebih baik” tak terdengar klise di tangan mereka—justru menjadi afirmasi keras yang lahir dari proses panjang dan reflektif.
Dari Studio ke Kaset Pita: Romantisme dan Realisme